digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800


BAB 1 Irfan Riza Putra
Terbatas  Resti Andriani
» Gedung UPT Perpustakaan

BAB 2 Irfan Riza Putra
Terbatas  Resti Andriani
» Gedung UPT Perpustakaan

BAB 3 Irfan Riza Putra
Terbatas  Resti Andriani
» Gedung UPT Perpustakaan

BAB 4 Irfan Riza Putra
Terbatas  Resti Andriani
» Gedung UPT Perpustakaan

BAB 5 Irfan Riza Putra
Terbatas  Resti Andriani
» Gedung UPT Perpustakaan

PUSTAKA Irfan Riza Putra
Terbatas  Resti Andriani
» Gedung UPT Perpustakaan

Batubara masih menjadi pilihan utama sebagai bahan bakar penghasil energi di Indonesia. Menurut data Kementerian ESDM, pada tahun 2020, kebutuhan batubara domestik adalah sebesar 132 juta ton dan akan terus meningkat seiring dengan kebutuhan energi dalam negeri sehingga peningkatan jumlah limbah yang dihasilkan, yaitu Fly Ash dan Bottom Ash juga mengikuti. Faktanya, pemanfaatan limbah Fly Ash dan Bottom Ash di Indonesia sendiri tergolong masih rendah. Pemerintah mengambil langkah dengan merevisi kebijakan melalui PP no 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan mengeluarkan Fly Ash dan Bottom Ash dari kategori limbah B3 (Lampiran 14, PP No 22 Tahun 2021). Namun tidak semua limbah Fly Ash dan Bottom Ash yang dikeluarkan dari kategori limbah B3, hanya limbah dari hasil pembakaran batubara pada fasilitas PLTU atau dari kegiatan lain yang menggunakan tungku selain jenis stoker boiler. Hal tersebut disebabkan karena pembakaran batubara di kegiatan PLTU dilakukan pada temperatur tinggi, sehingga kandungan unburnt carbon di dalam Fly Ash dan Bottom Ash menjadi minimum dan lebih stabil saat disimpan . Potensi pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash yang sangat tinggi dapat digunakan sebagai substitusi material untuk pembuatan semen dan beton sistem, untuk lapisan tudung dalam penanganan air asam tambang atau bahkan untuk media tanam dalam pertanian. Sebagai bahan material substitusi dalam pembuatan beton kualitas K-300, potensi ekonomi yang dapat dihemat mencapai 24,241 Triliun Rupiah setiap tahunnya. Sedangkan untuk pembuatan beton kualitas K-600 menggunakan campuran Fly Ash dan Bottom Ash, berpotensi menghemat biaya sebesar 24, 258 Triliun Rupiah setiap tahunnya. Kebijakan ini tentu menjadi gerbang awal sebagai usaha untuk meningkatkan penyerapan Limbah B3 agar tidak terjadi penumpukan limbah yang justru akan mengganggu Lingkungan Hidup dan Kesehatan kedepannya. Dari segi mekanisme pengolahan limbah, penerbitan perizinan pengelolaan limbah menjadi tidak rumit dan efektif. Melalui Standard Operational Procedure (SOP) pengelolaan Fly Ash dan Bottom Ash yang diacu oleh seluruh PLTU penghasil limbah, para penghasil limbah bisa mengajukan persetujuan lingkungan yang kemudian melakukan pengajuan Uji Amdal sebelum mendapat Persetujuan Lingkungan dan Perizinan Berusaha. Hal ini tentu menjadi momentum baik bagi Indonesia jika dapat dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang ada dan dilakukan dengan strategi pengoptimalan yang mendukung. Pengoptimalan berupa penyusunan SOP pengelolaan Fly Ash dan Bottom Ash yang diacu oleh seluruh PLTU di Indonesia dengan memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan hidup disertai pengawasan dan kontrol ketat, melakukan riset baru tentang pemanfaatan limbah Fly Ash dan Bottom Ash di Indonesia, melakukan kajian terkait standarisasi jenis tungku Pulverised Coal Combustion yang digunakan PLTU dan beberapa industri di Indonesia, dan menekan perusahaan penghasil limbah Fly Ash dan Bottom Ash untuk membuat roadmap terkait pemanfaatan limbah Fly Ash dan Bottom Ash.