digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Kabau merupakan tumbuhan endemik Indonesia, khususnya di pulau Sumatra. Kabau termasuk suku Fabaceae yang memiliki tiga sub-suku yaitu Faboideae, Caesalpinoideae, Mimosoideae. Kabau termasuk sub kelas Mimosoideae, marga Archidendron, dengan nama jenis Archidendron bubalinum (Jack) Nielsen. Secara kemotaksonomi diperkirakan adanya kemiripan struktur kandungan kimia dengan jengkol yang memungkinkan adanya kesamaan efek farmakologi. Salah satu jenis dari marga Archidendron yang telah dilakukan pengujian sebagai aktivitas antidiabetes yaitu jengkol (Archidendron jiringa), sehingga dapat dijadikan acuan untuk dilakukan pengujian yang sama. Secara umum penelitian ini meliputi karakteristik makroskopis dan mikroskopis, analisis senyawa bau menggunakan KG-SM, kadar total fenol, kadar total flavonoid, aktivitas antioksidan, pengujian aktivitas antidiabetes secara in vitro dan in vivo serta analisis senyawa yang berpotensi terhadap aktivitas antidiabetes. Karakterisasi makroskopis dan mikroskopis dilakukan terhadap biji kabau segar dan kering dengan diamati bentuk, ukuran, bau dan rasa, serta dilakukan analisis mikroskopis sayatan setebal 100 µm dari biji kabau segar. Selain sampel tumbuhan biji kabau segar, preparat sampel mikroskopis dilakukan juga terhadap serbuk simplisia serta pengujian histokimia dengan penambahan reagen spesifik menggunakan mikroskop cahaya dilengkapi kamera digital dan analisis menggunakan program S-Viewer. Analisis morfologi, baik makroskopis maupun mikroskopis pada biji kabau adalah untuk mengidentifikasi jenis Archidendron bubalinum baik bentuk anatomi dan sebaran serta akumulasi metabolit primer serta sekunder. Karakter anatomi biji kabau berbentuk silinder dengan susunan yang tersusun rapi terdiri dari lima sampai enam biji pada setiap polongnya memiliki baunya seperti jengkol dengan rasa manis yang sedikit pahit dan tekstur yang lembut. Biji kabau memiliki ukuran panjang rata-rata 2 cm, diameter 1,5 cm dan memiliki lembaga atau kotiledon (perkecambahan biji). Secara mikroskopis biji kabau terdiri dari 3 lapisan yaitu sarkotesta, sklerotesta, dan endotesta yang mengandung amiloplas dengan pati serta kantung minyak. Analisis histokimia biji kabau mengandung senyawa fenolat, tanin, alkaloid, terpenoid, protein/asam amino dan pati yang terdistribusi secara berbeda pada bagian biji kabau, sehingga memudahkan untuk mengidentifikasi senyawa yang berkontribusi terhadap aktivitas biji kabau. Tahapan penelitian selanjutnya yaitu ekstraksi biji kabau dilakukan ekstraksi sinambung dengan alat Soxhlet, menggunakan pelarut dengan kepolaran bertingkat yaitu n-heksana, etil asetat dan etanol 96 %. Jenis pelarut yang digunakan berpengaruh terhadap senyawa aktif yang ikut terekstraksi. Pelarut polar akan menarik senyawa yang bersifat polar, pelarut semi polar akan menarik senyawa semi polar sedangkan pelarut non polar akan menarik senyawa non polar. Rendemen yang didapat dari hasil ekstraksi dengan pelarut n-heksana adalah 0,76 %, etil asetat 0,83 % dan etanol 96 % sebanyak 10,66 %. Perbedaan dari jenis pelarut mempengaruhi metabolit yang terekstraksi sehingga rendemen ekstrak yang dihasilkan berbeda. Ekstrak n-heksana secara organoleptis memiliki bau khas biji kabau yang sangat dominan, sehingga ekstrak n-heksana dilakukan analisis senyawa bau menggunakana KG-SM. Hasil dari KG-SM didapatkan berbagai senyawa asam lemak jenuh, asam lemak tak jenuh dan senyawa yang diduga memberikan bau pada biji kabau yaitu lentionin dan metil imidosulfur diflorida dimana kedua senyawa tersebut terdapat gugus fungsi sulfur. Tahapan selanjutnya ketiga ekstrak tersebut dilakukan pengujian kadar total fenol, kadar total flavonoid, aktivitas antioksidan dan aktivitas antidiabetes secara in vitro dan in vivo. Hasil penentuan kadar total fenol dan flavonoid tertinggi pada ekstrak etanol, dan sangat berkorelasi dengan dengan aktivitas antioksidan dengan IC50 41,18 µg/mL. Tahapan penelitian selanjutnya dilakukan aktivitas pengujian antidiabetes dengan metode in vitro dengan menguji aktivitas inhibisi terhadap enzim a-glukosidase. Hasil menunjukkan bahwa ekstrak yang paling aktif menghambat enzim ?- glukosidase dengan nilai IC50 yang paling rendah adalah ekstrak n-heksana. Hasil GC-MS pada ekstrak n-heksana menunjukan terdapat asam lemak jenuh dan tak jenuh serta senyawa yang mengandung sulfur yang memberikan bau khas pada kabau. Asam lemak tak jenuh memberikan hambatan terhadap aktivitas enzim aglukosidase lebih baik dibandingkan asam lemak jenuh, semakin banyak ikatan rangkap pada asam lemak maka akan menghasilkan aktivitas penghambatan enzim yang lebih kuat dan potensi penghambatan bergantung pada panjang rantai karbon dan posisi ikatan rangkap dalam molekul asam lemak. Terhadap ekstrak yang aktif dalam penghambatan enzim ?-glukosidase, dilakukan proses pemisahan senyawa dengan metode kromatografi kolom elusi gradien menggunakan kombinasi pelarut n-heptana, n-heksana dan etil asetat dengan fase diam silika gel 60. Pada saat proses pemisahan menghasilkan vial no 61-91 dengan serbuk putih kemudian dilakukan pemantauan dengan KLT, vial no 73 menunjukkan pola spot senyawa yang murni dengan berat 183,2 mg dan berbau khas, dimana selanjutnya diberi nama isolat VKH. Isolat VKH dilakukan pemantauan kemurnian menggunakan KLT 3 pengembang dan KLT 2 dimensi, hasilnya bahwa isolat VKH telah murni. Selanjutnya Isolat VKH dianalisis menggunakan spektroskopi FTIR, 1 H-NMR (500MHz) dan 13 C-NMR (125 MHz), mengkonfirmasi bahwa isolat VKH merupakan senyawa asam oleat. Senyawa asam oleat dilakukan pengujian aktivitas antidiabetes secara in vitro. Berdasarkan hasil pengujian penghambatan enzim a-glukosidase, menunjukkan bahwa senyawa asam oleat memberikan % hambatan yang lebih baik dibandingkan dengan ekstrak n-heksana. Pada tahap penelitian selanjutnya dilakukan pengujian aktivitas antidiabetes secara in vivo dari ekstrak n-heksana, etil asetat dan etanol dengan metode tes toleransi glukosa, pengukuran kadar glukosa pada hewan diinduksi aloksan dan pengukuran kadar MDA serta SOD. Hasil tes toleransi glukosa menunjukkan efek penurunan kadar glukosa yang signifikan oleh ekstrak etil asetat pada dosis 750 mg/kgbb dan etanol pada dosis 250 mg/kgbb. Hasil ini menunjukkan bahwa ekstrak biji kabau dapat dijadikan salah satu alternatif untuk pengobatan antidiabetes dan sebagai antioksidan. Hal ini didukung oleh hasil yang menunjukkan bahwa kadar SOD terukur lebih tinggi pada kelompok yang diberi ekstrak dibandingkan normal, dan mendekati kadar pada kelompok yang diberi asam askorbat. Tahapan penelitian selanjutnya yaitu proses fraksinasi ekstrak etanol menggunakan metode cair padat, dimana ekstrak etanol sebanyak 15 gram dilarutkan dengan etil asetat sebanyak 150 ml, dilakukan sonikasi selama 30 menit disertai pengadukan, filtrat diambil kemudian ekstrak ditambahkan kembali dengan pelarut yaitu etil asetat dan diulang sebanyak tiga kali. Selanjutnya ekstrak dilarutkan dengan pencampuran dua pelarut yaitu etil asetat - metanol (1:1) sebanyak 150 ml, dilakukan sonikasi selama 30 menit kemudian diaduk, filtrat diambil kemudian ekstrak ditambahkan kembali dengan etil asetat - metanol (1:1) dan dilakukan sebanyak tiga kali, tahap terakhir ekstrak ditambahkan pelarut metanol 100% dan dilakukan sebanyak tiga kali, kemudian dilakukan pengujian pemantauan senyawa dengan KLT dan dipandu aktifitas dengan pengujian in vivo menggunakan metode tes toleransi glukosa, bahan uji menunjukkan aktivitas antihiperglikemia pada hewan yang diinduksi hiperglikemik, nilai AUC semakin kecil maka jumlah kadar glukosa dalam darah sedikit, jika dibandingkan dengan kelompok perlakuan AUC semakin kecil maka potensi antidiabetes semakin tinggi. Semua bahan uji menunjukkan potensi aktivitas antihiperglikemia yang sama dinilai dari nilai AUC0-150 yang tidak berbeda signifikan satu sama lain, tetapi jika dilihat dari angka penurunan AUC, maka fraksi metanol memiliki potensi menurunkan kadar glukosa lebih baik dibandingkan fraksi yang lainnya. Tahapan penelitian selanjutnya dilakukan subfraksinasi untuk mendapatkan senyawa yang berpotensi antidibetes pada fraksi metanol, subfraksinasi dilakukan menggunakan Medium Pressure Liquid Chromatography (MPLC) dengan berat sampel 1g dengan fase diam silika 12 mg dengan laju alir 15 ml/menit, tekanan 300 psi dan fase gerak menggunakan kloroform – metanol - asam format ( 4 : 6 :1), didapatkan 117 subfraksi dan dipantau menggunakan KLT dengan fase diam silika gel F254 dan fase gerak etil asetat - metanol - asam format - air (6 : 2 : 1 : 1), hasil MPLC pada vial 41 menunjukkan bercak noda tunggal yang kemudian disebut isolat M41LM berupa cairan berwarna kuning lengket sebanyak 73,9 mg. Selanjutnya pengujian kemurnian terhadap isolat M41LM menggunakan KLT 3 pengembang dan KLT 2 dimensi menunjukkan bahwa isolat masih belum murni namun sudah dimurnikan karena masih ada pola bercak yang lain pada saat disempot dengan H2SO4 , untuk menentukan golongan metabolit sekunder pada isolat M41LM dilakukan penyemprotan bercak noda hasil KLT dengan pereaksi semprot Lieberman Buchard, bercak noda memberikan warna merah yang menunjukkan bahwa isolat merupakan golongan terpenoid. Selanjutnya isolat M41LM dilakukan pemantauan kadar secara densitometri untuk melihat pola spektrodensitogram dengan hasil kadar dari isolat sebesar 77,75%. Karakterisasi isolat M41LM menggunakan 1 H-NMR (500MHz) dan 13 C-NMR (125 MHz) didapatkan prediksi kandidat struktur senyawa isolat M41LM golongan diterpen dengan substitusi gula.