Kabau merupakan tumbuhan endemik Indonesia, khususnya di pulau Sumatra.
Kabau termasuk suku Fabaceae yang memiliki tiga sub-suku yaitu Faboideae,
Caesalpinoideae, Mimosoideae. Kabau termasuk sub kelas Mimosoideae, marga
Archidendron, dengan nama jenis Archidendron bubalinum (Jack) Nielsen. Secara
kemotaksonomi diperkirakan adanya kemiripan struktur kandungan kimia dengan
jengkol yang memungkinkan adanya kesamaan efek farmakologi. Salah satu jenis
dari marga Archidendron yang telah dilakukan pengujian sebagai aktivitas
antidiabetes yaitu jengkol (Archidendron jiringa), sehingga dapat dijadikan acuan
untuk dilakukan pengujian yang sama. Secara umum penelitian ini meliputi
karakteristik makroskopis dan mikroskopis, analisis senyawa bau menggunakan
KG-SM, kadar total fenol, kadar total flavonoid, aktivitas antioksidan, pengujian
aktivitas antidiabetes secara in vitro dan in vivo serta analisis senyawa yang
berpotensi terhadap aktivitas antidiabetes.
Karakterisasi makroskopis dan mikroskopis dilakukan terhadap biji kabau segar
dan kering dengan diamati bentuk, ukuran, bau dan rasa, serta dilakukan analisis
mikroskopis sayatan setebal 100 µm dari biji kabau segar. Selain sampel
tumbuhan biji kabau segar, preparat sampel mikroskopis dilakukan juga terhadap
serbuk simplisia serta pengujian histokimia dengan penambahan reagen spesifik
menggunakan mikroskop cahaya dilengkapi kamera digital dan analisis
menggunakan program S-Viewer. Analisis morfologi, baik makroskopis maupun
mikroskopis pada biji kabau adalah untuk mengidentifikasi jenis Archidendron
bubalinum baik bentuk anatomi dan sebaran serta akumulasi metabolit primer
serta sekunder. Karakter anatomi biji kabau berbentuk silinder dengan susunan
yang tersusun rapi terdiri dari lima sampai enam biji pada setiap polongnya
memiliki baunya seperti jengkol dengan rasa manis yang sedikit pahit dan tekstur
yang lembut. Biji kabau memiliki ukuran panjang rata-rata 2 cm, diameter 1,5 cm
dan memiliki lembaga atau kotiledon (perkecambahan biji). Secara mikroskopis
biji kabau terdiri dari 3 lapisan yaitu sarkotesta, sklerotesta, dan endotesta yang
mengandung amiloplas dengan pati serta kantung minyak. Analisis histokimia biji
kabau mengandung senyawa fenolat, tanin, alkaloid, terpenoid, protein/asam
amino dan pati yang terdistribusi secara berbeda pada bagian biji kabau, sehingga
memudahkan untuk mengidentifikasi senyawa yang berkontribusi terhadap
aktivitas biji kabau.
Tahapan penelitian selanjutnya yaitu ekstraksi biji kabau dilakukan ekstraksi
sinambung dengan alat Soxhlet, menggunakan pelarut dengan kepolaran
bertingkat yaitu n-heksana, etil asetat dan etanol 96 %. Jenis pelarut yang
digunakan berpengaruh terhadap senyawa aktif yang ikut terekstraksi. Pelarut
polar akan menarik senyawa yang bersifat polar, pelarut semi polar akan menarik
senyawa semi polar sedangkan pelarut non polar akan menarik senyawa non
polar. Rendemen yang didapat dari hasil ekstraksi dengan pelarut n-heksana
adalah 0,76 %, etil asetat 0,83 % dan etanol 96 % sebanyak 10,66 %. Perbedaan
dari jenis pelarut mempengaruhi metabolit yang terekstraksi sehingga rendemen
ekstrak yang dihasilkan berbeda.
Ekstrak n-heksana secara organoleptis memiliki bau khas biji kabau yang sangat
dominan, sehingga ekstrak n-heksana dilakukan analisis senyawa bau
menggunakana KG-SM. Hasil dari KG-SM didapatkan berbagai senyawa asam
lemak jenuh, asam lemak tak jenuh dan senyawa yang diduga memberikan bau
pada biji kabau yaitu lentionin dan metil imidosulfur diflorida dimana kedua
senyawa tersebut terdapat gugus fungsi sulfur. Tahapan selanjutnya ketiga ekstrak
tersebut dilakukan pengujian kadar total fenol, kadar total flavonoid, aktivitas
antioksidan dan aktivitas antidiabetes secara in vitro dan in vivo. Hasil penentuan
kadar total fenol dan flavonoid tertinggi pada ekstrak etanol, dan sangat
berkorelasi dengan dengan aktivitas antioksidan dengan IC50 41,18 µg/mL.
Tahapan penelitian selanjutnya dilakukan aktivitas pengujian antidiabetes dengan
metode in vitro dengan menguji aktivitas inhibisi terhadap enzim a-glukosidase.
Hasil menunjukkan bahwa ekstrak yang paling aktif menghambat enzim ?-
glukosidase dengan nilai IC50 yang paling rendah adalah ekstrak n-heksana. Hasil
GC-MS pada ekstrak n-heksana menunjukan terdapat asam lemak jenuh dan tak
jenuh serta senyawa yang mengandung sulfur yang memberikan bau khas pada
kabau. Asam lemak tak jenuh memberikan hambatan terhadap aktivitas enzim aglukosidase lebih baik dibandingkan asam lemak jenuh, semakin banyak ikatan
rangkap pada asam lemak maka akan menghasilkan aktivitas penghambatan
enzim yang lebih kuat dan potensi penghambatan bergantung pada panjang rantai
karbon dan posisi ikatan rangkap dalam molekul asam lemak. Terhadap ekstrak
yang aktif dalam penghambatan enzim ?-glukosidase, dilakukan proses
pemisahan senyawa dengan metode kromatografi kolom elusi gradien
menggunakan kombinasi pelarut n-heptana, n-heksana dan etil asetat dengan fase
diam silika gel 60. Pada saat proses pemisahan menghasilkan vial no 61-91
dengan serbuk putih kemudian dilakukan pemantauan dengan KLT, vial no 73
menunjukkan pola spot senyawa yang murni dengan berat 183,2 mg dan berbau
khas, dimana selanjutnya diberi nama isolat VKH. Isolat VKH dilakukan
pemantauan kemurnian menggunakan KLT 3 pengembang dan KLT 2 dimensi,
hasilnya bahwa isolat VKH telah murni. Selanjutnya Isolat VKH dianalisis
menggunakan spektroskopi FTIR,
1
H-NMR (500MHz) dan
13
C-NMR (125
MHz), mengkonfirmasi bahwa isolat VKH merupakan senyawa asam oleat.
Senyawa asam oleat dilakukan pengujian aktivitas antidiabetes secara in vitro.
Berdasarkan hasil pengujian penghambatan enzim a-glukosidase, menunjukkan
bahwa senyawa asam oleat memberikan % hambatan yang lebih baik
dibandingkan dengan ekstrak n-heksana.
Pada tahap penelitian selanjutnya dilakukan pengujian aktivitas antidiabetes
secara in vivo dari ekstrak n-heksana, etil asetat dan etanol dengan metode tes
toleransi glukosa, pengukuran kadar glukosa pada hewan diinduksi aloksan dan
pengukuran kadar MDA serta SOD. Hasil tes toleransi glukosa menunjukkan efek
penurunan kadar glukosa yang signifikan oleh ekstrak etil asetat pada dosis 750
mg/kgbb dan etanol pada dosis 250 mg/kgbb. Hasil ini menunjukkan bahwa
ekstrak biji kabau dapat dijadikan salah satu alternatif untuk pengobatan
antidiabetes dan sebagai antioksidan. Hal ini didukung oleh hasil yang
menunjukkan bahwa kadar SOD terukur lebih tinggi pada kelompok yang diberi
ekstrak dibandingkan normal, dan mendekati kadar pada kelompok yang diberi
asam askorbat.
Tahapan penelitian selanjutnya yaitu proses fraksinasi ekstrak etanol
menggunakan metode cair padat, dimana ekstrak etanol sebanyak 15 gram
dilarutkan dengan etil asetat sebanyak 150 ml, dilakukan sonikasi selama 30 menit
disertai pengadukan, filtrat diambil kemudian ekstrak ditambahkan kembali
dengan pelarut yaitu etil asetat dan diulang sebanyak tiga kali. Selanjutnya ekstrak
dilarutkan dengan pencampuran dua pelarut yaitu etil asetat - metanol (1:1)
sebanyak 150 ml, dilakukan sonikasi selama 30 menit kemudian diaduk, filtrat
diambil kemudian ekstrak ditambahkan kembali dengan etil asetat - metanol (1:1)
dan dilakukan sebanyak tiga kali, tahap terakhir ekstrak ditambahkan pelarut
metanol 100% dan dilakukan sebanyak tiga kali, kemudian dilakukan pengujian
pemantauan senyawa dengan KLT dan dipandu aktifitas dengan pengujian in vivo
menggunakan metode tes toleransi glukosa, bahan uji menunjukkan aktivitas
antihiperglikemia pada hewan yang diinduksi hiperglikemik, nilai AUC semakin
kecil maka jumlah kadar glukosa dalam darah sedikit, jika dibandingkan dengan
kelompok perlakuan AUC semakin kecil maka potensi antidiabetes semakin
tinggi. Semua bahan uji menunjukkan potensi aktivitas antihiperglikemia yang
sama dinilai dari nilai AUC0-150 yang tidak berbeda signifikan satu sama lain,
tetapi jika dilihat dari angka penurunan AUC, maka fraksi metanol memiliki
potensi menurunkan kadar glukosa lebih baik dibandingkan fraksi yang lainnya.
Tahapan penelitian selanjutnya dilakukan subfraksinasi untuk mendapatkan
senyawa yang berpotensi antidibetes pada fraksi metanol, subfraksinasi dilakukan
menggunakan Medium Pressure Liquid Chromatography (MPLC) dengan berat
sampel 1g dengan fase diam silika 12 mg dengan laju alir 15 ml/menit, tekanan
300 psi dan fase gerak menggunakan kloroform – metanol - asam format ( 4 : 6
:1), didapatkan 117 subfraksi dan dipantau menggunakan KLT dengan fase diam
silika gel F254 dan fase gerak etil asetat - metanol - asam format - air (6 : 2 : 1 : 1),
hasil MPLC pada vial 41 menunjukkan bercak noda tunggal yang kemudian
disebut isolat M41LM berupa cairan berwarna kuning lengket sebanyak 73,9 mg.
Selanjutnya pengujian kemurnian terhadap isolat M41LM menggunakan KLT 3
pengembang dan KLT 2 dimensi menunjukkan bahwa isolat masih belum murni
namun sudah dimurnikan karena masih ada pola bercak yang lain pada saat
disempot dengan H2SO4 , untuk menentukan golongan metabolit sekunder pada
isolat M41LM dilakukan penyemprotan bercak noda hasil KLT dengan pereaksi
semprot Lieberman Buchard, bercak noda memberikan warna merah yang
menunjukkan bahwa isolat merupakan golongan terpenoid. Selanjutnya isolat
M41LM dilakukan pemantauan kadar secara densitometri untuk melihat pola
spektrodensitogram dengan hasil kadar dari isolat sebesar 77,75%. Karakterisasi
isolat M41LM menggunakan
1
H-NMR (500MHz) dan
13
C-NMR (125 MHz)
didapatkan prediksi kandidat struktur senyawa isolat M41LM golongan diterpen
dengan substitusi gula.