Gunung api merupakan suatu sistem yang sangat kompleks dan untuk memahami karakteristiknya maka perlu dilakukan kegiatan seperti penelitian, penyelidikan, dan pengamatan. Seluruh rangkaian kegiatan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi risiko bahaya gunung api. Dari ketiga kegiatan tersebut, pengamatan gunung api merupakan kegiatan rutin yang dilakukan 24 jam setiap hari dan melibatkan banyak metode, seperti metode sesimik, magnetik, deformasi, geokimia, termal, dan atau gabungan dari beberapa metode tersebut. Dari semua metode tersebut, metode seismik digunakan sebagai metode utama dalam menentukan tingkat aktivitas. Metode ini digunakan karena dapat memberikan informasi secara real time, dapat merepresentasikan kondisi bawah permukaan gunung api, serta dapat digunakan untuk menghitung besarnya energi yang terkandung di dalam gunung api. Representasi energi ini diwakilkan dalam berbagai macam jenis gempa, salah satunya adalah gempa vulkanik (Volcano-Tectonic) atau biasa disingkat dengan VT. Semakin banyak gempa VT maka semakin tinggi tingkat aktivitas vulkaniknya. Perhitungan jumlah dan identifikasi gempa VT selama ini dilakukan secara manual dengan membaca data seismogram analog maupun digital. Permasalahan muncul ketika gunung api mengalami fase krisis ketika jumlah gempa yang terekam berjumlah ribuan dan untuk melakukan identifikasi gempa VT dibutuhkan waktu yang sangat lama. Sementara analisis risiko berdasarkan data tersebut diperlukan secepat mungkin. Penelitian ini menggunakan data gempa VT krisis Gunung Agung (1 September – 31 Desember 2017) menggunakan machine learning (ML) metode Random Forest Classifier (RFC) untuk membantu auto klasifikasi gempa VT. Dengan menggunakan RFC, akurasi prediksi untuk klasifikasi gempa VT dan non-VT mencapai 99.53% dengan RMSE terkecil 0.068734.