Berdasarkan dokumen RTRW Bali 2009-2029, salah satu daerah yang berpotensi sebagai pemasok biomassa nabati listrik untuk memenuhi target bauran energi (0,9MW) yaitu Desa Belimbing, yang ditetapkan sebagai kawasan agropolitan karena memiliki lahan yang subur dan irigasi yang baik. Desa Belimbing memiliki lahan untuk pengembangan biomassa EBT tanpa harus membuka lahan baru atau menggeser komoditas utama (pangan) ke energi, yaitu dengan memanfaatkan ruang di sela perkebunan dan limbahnya, seperti kelapa sebagai salah satu produk utama Desa Belimbing. Menurut Leksono (2014), limbah kelapa (sabut, tempurung, pelepah dan ampas daging) memiliki nilai kalor yang tinggi untuk dijadikan sumber listrik, namun, pemanfaatan limbah perlu diperhitungkan untuk jaminan ketersediaan stok (Bassam, 2011), maka, diperlukan suatu strategi pengembangan untuk memenuhi target bauran EBT biomassa nabati di Bali yang berkelanjutan dan dicapai melalui beberapa poin analisis utama, meliputi komposisi biomassa yang akan digunakan dengan membandingkan skenario monokultur kelapa dengan tumpangsari beberapa spesies tanaman energi unggul serta faktor internal dan eksternal terkait pengembangan EBT. Hasil perhitungan proyeksi listrik dengan skenario monokultur kelapa (0,0131 MWh/kg) sedangkan skenario tumpangsari tanaman energi dengan jarak pagar (0,0182 MWh/kg); kemiri sunan (0,0178 MWh/kg) dan nyamplung (0,0202 MWh/kg), dapat dilihat bahwa tumpangsari kelapa dengan nyamplung memiliki angka supply energi tertinggi. Secara umum, lahan di Desa Belimbing cocok untuk ditanami kelapa dan nyamplung dengan luasan mencapai 1331,4 ha dari keseluruhan lahan Desa Belimbing (2147 ha). Secara ekonomi, pengembangan EBT kelapa dan nyamplung layak dilakukan karena mampu menghasilkan nilai NPV mencapai Rp 54,480,863,468; Profitability Index 33,46; IRR 39,70 %; dan Payback Period 24 bulan. Hasil pembobotan faktor internal (IFE) dan eksternal (EFE) beruturt 2,96 dan 2,59, menunjukkan potensi biomassa nabati Desa Belimbing berada pada tahap hold and maintain. Penelitian ini menghasilkan 14 alternatif strategi pengembangan dengan 3 strategi utama yang berada pada urutan prioritas, yaitu 1) memprioritaskan Desa Belimbing dalam rencana ketenagalistrikan; 2) pemberdayaan masyarakat melalui sosialisasi, penyuluhan dan pelatihan; dan 3) eksplorasi tanaman energi sesuai dengan potensi lahan Desa Belimbing, yaitu menggunakan sistem tumpangsari kelapa dengan nyamplung sehingga target bauran energi Bali dapat tercapai.