digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800










2021 TS PP DELYANTI GANESHA_JURNAL.pdf)u
Terbatas Open In Flip Book Yoninur Almira
» ITB

Upaya pencegahan dan mitigasi struktural dalam transboundary manajemen risiko banjir di DAS Ciliwung belum sepenuhnya terlaksana secara optimal akibat adanya isu dan kendala pembebasan lahan, ego sektoral dan tumpang tindih kebijakan dalam pembagian kewenangan antar aktor terkait. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan rekomendasi intervensi pola interaksi aktor pada transboundary manajemen risiko bencana banjir di DAS Ciliwung khususnya pada kegiatan pencegahan dan mitigasi struktural. Metode pengumpulan data terdiri dari data primer dan sekunder. Data sekunder berasal dari dokumen pemerintahan, jurnal, tesis dan buku akademik. Sedangkan data primer diperoleh melalui wawancara secara daring dan luring pada 34 instansi pemerintah yang terdiri dari pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Kota Depok dan Bogor serta Pemerintah Kabupaten Bogor sampai ke unit terkecil kelurahan dan kecamatan. Analisis yang dilakukan pada penelitian ini adalah analisis konten, analisis jejaring sosial atau Social Network Analysis (SNA) menggunakan Software UCINET serta analisis deskriptif. Berdasarkan hasil analisis maka diketahui terdapat 15 komponen kegiatan dalam upaya pencegahan dan mitigasi struktural bencana banjir di DAS Ciliwung yang terdiri dari 2 kegiatan dalam strategi Resist yaitu pembangunan tanggul laut dan sistem polder, 2 kegiatan dalam strategi Delay yaitu Naturalisasi Sungai dan Waduk serta pembangunan sumur resapan, 3 kegiatan dalam strategi Store yaitu Pembangunan Waduk Kering Ciawi dan Sukamahi, Situ, Embung, Waduk dan Kolam Retensi. Delapan kegiatan lainnya dalam strategi Discharge yaitu Normalisasi Kali Ciliwung, Sodetan Kali Ciliwung ke BKT, Normalisasi BKB dan BKT, Pembangunan dan Normalisasi Drainase/Saluran, Pembangunan dan Pemeliharaan Pompa, Pembangunan dan Pemeliharaan Pintu Air, Pelebaran dan Pendalaman Muara Sungai serta Pembangunan Saringan Sampah. Terdapat 52 aktor yang terlibat pada 15 komponen kegiatan tersebut dengan pola interaksi yang berbeda beda. Aktor yang terlibat terdiri dari 9 aktor Pemerintah Pusat, 12 aktor Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta, 4 aktor Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat, 8 aktor Pemerintah Daerah Kota Depok, 8 aktor Pemerintah Daerah Kotaii Bogor dan 8 aktor Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor, aktor BUMN dan aktor Swasta serta aktor masyarakat perorangan. Pola interaksi aktor diperoleh dengan menggunakan indikator degree of centrality dan betweenness sehingga diketahui pola interaksi setiap kegiatan dengan karakternya masing masing. Hasil analisis menunjukan bahwa terdapat pola interaksi yang beragam. Terdapat 6 komponen kegiatan yang didominasi oleh pemerintah pusat yaitu aktor Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWS CC) dan 1 komponen kegiatan yang didominasi oleh Kementerian PUPR. Selain itu terdapat 6 komponen kegiatan yang didominasi oleh pemerintah daerah yaitu 5 kegiatan oleh Dinas Sumber Daya Air (DSDA) dan 1 kegiatan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi DKI Jakarta. Terdapat juga 2 kegiatan yang didominasi oleh BBWS CC dan Dinas SDA Provinsi DKI Jakarta. Dalam pola interaksi aktor tersebut terdapat isu dan kendala terkait koordinasi. Isu dan kendala terbanyak dan paling beragam terdapat pada komponen kegiatan yang didominasi oleh aktor Pemerintah Pusat. Terdapat 5 isu dan kendala yang sering terjadi pada kegiatan yang didominasi pemerintah pusat. Isu dan kendala pertama terkait pembebasan lahan yang dapat diintervensi dengan meningkatkan koordinasi seacara intensive antar aktor pengadaan tanah serta menegaskan Implementasi PP No. 19 Tahun 2021 terkait prosedur dalam pengadaan tanah. Kendala kedua yaitu keterbatasan anggaran yang dapat diintervensi dengan memanfaatkan sistem pendanaan lain seperti bantuan dana PEN, CSR dan hibah. Kendala ketiga yaitu kurangnya keterlibatan masyarakat dalam perencanaan awal dapat diintervensi dengan melibatkan aktor masyarakat dalam menyusun Rencana Awal Kegiatan. Sedangkan kendala keempat terkait perbedaan level kewenangan dapat diintervensi dengan menyederhanakan mekanisme koordinasi dalam perizinan dan penyusunan rekomendasi teknis. Kendala yang terakhir terkait kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dapat diintervensi dengan meningkatkan koordinasi antar aktor pemerintah pusat, provinsi dan kota/kabupaten.