digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Genesa gas metana batubara Formasi Muaraenim dianalisis menggunakan empat metode ilmiah yaitu: petrografi organik, komposisi kimia, geokimia organik, dan kinetika reaksi. Sebuah pengeboran gas metana batubara dilakukan oleh Pusat Sumber Daya Geologi Bandung di sisi barat Cekungan Sumatra Selatan, tepatnya di Desa Muara Lawai, Kecamatan Merapi, Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatra Selatan. Tujuan pengeboran untuk meneliti karakter dan potensi gas metana batubara di daerah penelitian. Pengeboran mencapai kedalaman 450 m yang menembus Formasi Kasai dan Formasi Muaraenim. Formasi Kasai disusun oleh batuan sedimen vulkanik klastik (batupasir tufaan, tufa, dan batulempung tufaan). Formasi Muaraenim disusun oleh sedimen klastik (serpih karbonan, batupasir, batulempung, sisipan batupasir tufaan, dan batubara). Inti batuan hasil pengeboran berupa serpih karbonan dan batubara dimasukkan ke dalam canister dan kemudian diukur kandungan gasnya. Hasil pengukuran gas menunjukkan bahwa serpih karbonan Niru, Lematang dan Babat di rentang kedalaman 87,5-129,5 m tidak mengandung gas, sedangkan serpih karbonan Kebon di kedalaman 175 m menunjukkan kandungan gas yang sangat rendah (0,02-0,04 cm3/g). Kandungan gas mulai signifikan dijumpai pada batubara Benuang, Mangus, dan Suban di rentang kedalaman 201-284,5 m (0,33-1,38 cm3/g). Kandungan gas sangat rendah juga dijumpai pada tiga lapisan batubara terbawah (Petai, Merapi, dan Kladi) di rentang kedalaman 388-404 m (0,05-0,10 cm3/g). Analisis komposisi gas pada serpih karbonan dan batubara menunjukkan bahwa metana (65,60-97,91%) mendominasi dibandingkan oksigen (0,33-31,24%) dan karbon dioksida (0,23-3,96%). Ada beberapa dugaan yang berkembang pada bervariasinya kandungan gas tersebut, yaitu akibat peran material organik, tingkat kematangan, dan kinetika reaksi terbentuknya gas. Berdasarkan dugaan tersebut, maka dimunculkan tiga hipotesis, yaitu: 1) grup maseral huminit memiliki peran utama terhadap variasi kandungan gas, 2) semakin tinggi tingkat kematangan batubara maka akan semakin besar kandungan gas, 3) laju pemanasan dan temperatur terbentuknya gas dapat ditentukan dari parameter kinetika. Analisis petrografi organik menunjukkan bahwa material organik batubara didominasi oleh grup maseral huminit (72,4-92,6 % vol.) jika dibandingkan liptinit (5,0-19,2 % vol.) atau inertinit (1,2-15,4 % vol). Semakin tinggi kandungan huminit maka semakin tinggi gas yang diproduksi selama proses pembatubaraan. Huminit memiliki kemampuan memproduksi dan menyerap gas jika dibandingkan liptinit atau inertinit. Hal tersebut karena huminit bersifat lebih porous sehingga memiliki luas permukaan yang sangat besar dalam menyerap gas. Tingkat kematangan material organik mencapai tahapan lignit (Rmax= 0,24- 0,31%). Semakin tinggi tingkat kematangannya maka semakin tinggi gas yang diproduksi oleh material organik. Peran tingkat kematangan pada pembentukan gas hanya terjadi pada batubara Benuang, Mangus, dan Suban, namun tidak pada batubara Petai, Merapi, dan Kladi, hal ini karena material organiknya telah mengalami oksidasi yang intensif sehingga preservasinya tidak optimal. Hasil analisis proksimat (lengas, abu, zat terbang, dan karbon tertambat) pada contoh batubara tidak menunjukkan perubahan nilai yang signifikan seiring dengan kedalaman pengeboran. Pola tersebut mengindikasikan bahwa batubara terbentuk pada kondisi diagenesa yang dicirikan minimnya pengaruh tekanan dan temperatur selama proses pembatubaraan. Hasil analisis total organic carbon (TOC) membuktikan bahwa semakin rendah nilai TOC maka semakin rendah gas yang diproduksi oleh material organik. Nilai TOC pada setiap contoh batubara sangat dipengaruhi oleh proses oksidasi, hal ini ditunjukkan dari nilai indeks oksigen yang bervariasi. Tingginya nilai indeks oksigen mengindikasikan bahwa preservasi pada material organik terjadi tidak optimal sehingga secara langsung berkaitan dengan sedikitnya jumlah gas yang terbentuk. Analisis TOC memperkuat dalam memberikan jawaban terhadap rendahnya kandungan gas pada tiga lapisan batubara terbawah (Petai, Merapi, dan Kladi). Hasil analisis pirolisis gas kromatografi yaitu berupa kromatogram menunjukkan bahwa komponen hidrokarbon yang mendominasi pada batubara adalah rantai karbon pendek (C1-5), khususnya metana (C1), jika dibandingkan terhadap rantai karbon menengah (C6-14) dan panjang (C15+). Secara kuantitatif, analisis gas kromatografi sangat berguna dalam menjawab bervariasinya kandungan gas pada batubara yang diuji. Analisis penting lainnya adalah menentukan laju pemanasan dan temperatur terbentuknya gas batubara. Berdasarkan parameter kinetika (energi aktivasi dan faktor frekuensi) yang diperoleh dari analisis pirolisis source rock analyzer (SRA), menunjukkan bahwa laju pemanasan terbentuknya gas batubara pada Formasi Muaraenim sebesar 15oC/juta tahun. Selanjutnya temperatur terbentuknya gas dapat ditentukan dari parameter kinetika dan laju pemanasan tersebut. Terbentuknya gas pada lapisan Kebon, Benuang, Mangus, dan Suban terjadi pada rentang temperatur geologi 82oC-107oC. Hasil penelitian memberikan pemahaman baru tentang karakter dan genesa gas batubara di daerah penelitian, serta bermanfaat sebagai panduan untuk pengeboran gas batubara selanjutnya ke daerah yang diprediksi memiliki kandungan gas lebih besar.