BAB 1 Rachmi Kumala Widyasari
Terbatas  Noor Pujiati.,S.Sos
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas  Noor Pujiati.,S.Sos
» Gedung UPT Perpustakaan
BAB 2 Rachmi Kumala Widyasari
Terbatas  Noor Pujiati.,S.Sos
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas  Noor Pujiati.,S.Sos
» Gedung UPT Perpustakaan
BAB 3 Rachmi Kumala Widyasari
Terbatas  Noor Pujiati.,S.Sos
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas  Noor Pujiati.,S.Sos
» Gedung UPT Perpustakaan
BAB 4 Rachmi Kumala Widyasari
Terbatas  Noor Pujiati.,S.Sos
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas  Noor Pujiati.,S.Sos
» Gedung UPT Perpustakaan
BAB 5 Rachmi Kumala Widyasari
Terbatas  Noor Pujiati.,S.Sos
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas  Noor Pujiati.,S.Sos
» Gedung UPT Perpustakaan
Salah satu akulturasi yang terjadi di pesisir utara Jawa adalah kebudayaan Tionghoa
dan Jawa. Akulturasi ini melahirkan kebudayaan yang bernama kebudayaan
Peranakan. Masyarakat Peranakan memiliki karakter yang khas. Hal ini dapat
dilihat melalui perilaku, budaya kerja, hingga pola hunian yang sekaligus
merupakan tempat usaha mereka. Kebiasaan berperilaku masyarakat Peranakan
yang khas juga tampak pada ruang usaha batik. Relasi yang terjadi antara pembatik
dengan proses, peralatan, dan ruang pembatik berkaitan erat dengan nilai-nilai yang
diyakini masyarakat Peranakan. Penelitian ini dilakukan di beberapa rumah batik
tradisional yang terletak di daerah Jawa Tengah, khususnya rumah batik yang
menghasilkan kain batik Peranakan berkualitas tinggi. Daerah Kedungwuni,
Lasem, dan Surakarta dipilih menjadi lokasi penelitian karena masyarakat
Peranakan di daerah ini masih mempertahankan tradisi dalam melakukan proses
batik sehingga menciptakan batik Peranakan dengan detail motif dan perwarnaan
yang khas. Untuk menghasilkan kain batik tulis dengan motif yang detail dan khas,
dibutuhkan proses membatik yang lama, pola kerja yang repetitif, dan postur tubuh
yang cenderung statis. Proses ini dilakukan di area workstation canting pada usaha
batik tulis tradisional. Para pembatik membatik dengan canting secara bersamasama dengan menggunakan peralatan berupa canting, gawangan, dan tungku
sehingga membentuk suatu tatanan ruang yang khas. Tatanan ruang pada
workstation canting bersifat dinamis dan fleksibel karena mampu beradaptasi
terhadap kebutuhan pengguna ruangnya.
Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah kurangnya kajian mengenai relasi
antara ruang dan pembatik pada usaha batik tulis tradisional. Lebih khususnya,
pengaruh ruang kerja terhadap adaptasi postural pada proses membatik dengan
canting. Penelitian ini bertujuan untuk memahami relasi yang terjadi antara
pembatik dengan ruang kerjanya (workstation canting), dalam lingkup spasial,
karakteristik lingkungan ruang, dan gerak tubuh pembatik. Tujuan lain dari
penelitian ini adalah mampu merumuskan area minimum yang dibutuhkan oleh
pembatik saat ia melakukan proses membatik dengan canting serta tata letak
(layout) efektif dalam workstation canting. Oleh sebab itu, timbullah asumsi bahwa
terdapat hubungan antara faktor ruang dan proses kerja yang memengaruhi
pembatik dalam bekerja sehingga terjadi adaptasi postural ketika melakukan
aktivitas membatik dengan canting.
Pendekatan etnografi digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis data
berupa tradisi, budaya, dan perilaku masyarakat Peranakan, khususnya dalam
masyarakat pembatik tradisional. Pendekatan ergonomi digunakan untuk
mengumpulkan dan menganalisis data mengenai perilaku dan adaptasi postural
pembatik serta pengaruh ruang dalam proses membatik dengan canting. Analisis
studi gerak dan waktu digunakan untuk data hasil penelitian lapangan, sedangkan
analisis gerak berbasis motion-capture digunakan untuk data hasil eksperimentasi
di Laboratorium Ergonomics and Human Factors Fakultas Seni Rupa ITB.
Melalui penelitian ini, dapat diketahui bahwa terdapat hubungan yang saling
memengaruhi antara ruang, karakteristik lingkungan ruang, proses, dan alat kerja
terhadap perubahan gerak pembatik ketika melakukan proses membatik dengan
canting. Melalui penelitian yang lebih mendalam mengenai gerak, diketahui pola
gerak tangan dalam membuat batik dengan canting. Pola gerak tangan ini dijadikan
dasar untuk menentukan standar minimum area pembatik dalam melakukan proses
membatik dengan canting. Standar minimum area sebesar 0,98 m2 untuk setiap
pembatik menjadi dasar dalam menyimulasikan tata letak workstation canting. Pola
sirkular dengan tungku sebagai titik pusat untuk kapasitas empat orang pembatik
yang menghasilkan area sebesar 4,1616 m2
, dinilai merupakan tata letak yang
paling efektif. Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi dalam keilmuan
desain interior, khususnya pada konsep tata letak ruang membatik dengan canting
pada rumah batik tulis tradisional. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
diharapkan dapat juga diterapkan pada jenis pekerjaan berbasis tradisi lainnya
seperi menenun, menganyam, mengukir, dan sebagainya. Pada akhirnya, penelitian
ini merupakan salah satu usaha untuk melestarikan budaya dan tradisi di Indonesia.