Penelitian ini membahas tentang informalitas yang terjadi pada pengembangan
Transit-oriented Development (TOD) atau pembangunan yang berorientasi pada
titik transit sistem transportasi publik. Pendefinisian tentang pendekatan formal dan
informal pada penelitian ini merujuk pada perspektif "struktur" dan "agensi" yang
dikembangkan dalam teori strukturasi oleh Giddens. Pendekatan formal mengacu
pada perilaku agen dalam ruang lingkup struktur sedangkan pendekatan informal
yang mengacu pada tindakan agen di luar lingkup struktur. Informalitas
didefinisikan sebagai suatu kondisi yang berada di luar jangkauan mekanisme
pemerintah dalam berbagai tingkatan yang berbeda, sedangkan formalitas sebagai
kondisi yang dapat dijangkau oleh mekanisme tersebut. Penelitian ini secara khusus
akan menyoroti tentang bagaimana informalitas bekerja dalam perencanaan
konsensus yang dilakukan dalam pengembangan TOD. Hal ini disoroti sejalan
dengan adanya kesamaan penggunaan pendekatan perencanaan konsensus pada
sejumlah kasus TOD di beberapa negara dalam mencapai kesepakatan perencanaan.
TOD merupakan suatu pendekatan pengembangan sistem transportasi
berkelanjutan melalui integrasi dengan pengembangan guna lahan yang melibatkan
adanya pembangunan sejumlah infrastruktur. TOD telah dikembangkan di berbagai
negara sejak awal tahun 90-an. Konsep ini pun mulai diadopsi dan dikembangkan
di Indonesia sejak tahun 2012, seiring dengan pengembangan sistem transportasi
massal berbasis rel seperti MRT dan LRT. Namun perencanaan TOD di Indonesia
mengalami sejumlah permasalahan karena adanya perbedaan konteks dalam upaya
mengadopsi dan menerapkan keberhasilan di negara lain sehingga hingga kini
kawasan TOD belum terwujud di Indonesia. Perbedaan konteks yang diangkat
dalam penelitian ini adalah adanya informalitas yang terjadi di dalam proses
perencanaan dan implementasi kawasan TOD.ii
Pengembangan TOD yang berhasil umumnya dilakukan pada konteks formal dalam
kondisi kuatnya struktur suatu negara, yang ditandai dengan adanya intervensi
kebijakan pemerintah melalui sejumlah regulasi. Kondisi ini dapat mendorong
tercapainya suatu kesepakatan antara aktor swasta dan pemerintah dalam
mewujudkan kawasan TOD yang ideal dengan didukung dan sejalan dengan aturan
yang ada. Sedangkan pengembangan TOD di Indonesia dihadapkan dengan suatu
persoalan dengan adanya kondisi struktur yang lemah, ditandai dengan lemahnya
aturan atau kelembagaan yang diperlukan dalam perwujudan TOD. Kondisi
ketidaksiapan aturan ini menyebabkan terjadinya informalitas.
Pengembangan TOD pada umumnya sarat dengan proses konsensus
antarstakeholder untuk menghasilkan suatu kesepakatan pembangunan.
Perencanaan melalui proses konsensus berbasis pada pengambilan keputusan
melalui pendekatan perencanaan komunikatif, yang menekankan pencapaian
kesepakatan perencanaan melalui perdebatan, komunikasi dan interaksi antaraktor.
Salah satu teori perencanaan konsensus oleh Johan Woltjer yang diangkat dalam
penelitian ini dikembangkan berdasarkan kasus perencanaan pembangunan
infrastruktur di Belanda melalui pendekatan komunikatif, berupa kombinasi pola
kolaborasi, negosiasi, dan persuasi.
Namun umumnya keberhasilan proses konsensus ini terjadi pada konteks formal
yang ditandai dengan adanya serangkaian intervensi kebijakan pemerintah,
sehingga teori ini belum dapat menjelaskan bagaimana proses konsensus yang
terjadi pada konteks adanya informalitas, khususnya dalam kasus pengembangan
TOD. Di sisi lain formalitas memiliki sifat kaku yang membatasi para aktor untuk
bertindak, sedangkan informalitas memiliki sifat fleksibilitas yang memungkinkan
aktor untuk mengembangkan tindakan atau strategi untuk memenuhi
kepentingannya di luar struktur. Adanya kelebihan dan kelemahan ini menjadi
penting untuk dapat diungkap dan dijelaskan terkait dengan perencanaan
konsensus. Oleh karena itu penelitian kemudian bertujuan untuk menjelaskan
bagaimana informalitas bekerja dan mempengaruhi perencanaan konsensus yang
terjadi dalam pengembangan TOD, dan karenanya penelitian ini penting untuk
dilakukan.
Penelitian ini mengangkat studi kasus pengembangan kawasan TOD yang
dilakukan pada 4 (empat) proyek kereta api di Metropolitan Jakarta yang sudah
berjalan sejak tahun 2012 dan telah memasuki tahap pembangunan sehingga
memungkinkan untuk diteliti, dibandingkan dengan proyek TOD lain di Indonesia
yang belum cukup berkembang. Pemangku kepentingan utama yang diidentifikasi
sebagai agen dalam studi kasus terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah daerah,
agensi transit, dan pengembang yang memiliki kepentingan dan pengaruh besar
dalam pengambilan keputusan perencanaan.
Pertanyaan utama penelitian yang diajukan adalah bagaimana informalitas
perencanaan konsensus yang terjadi pada pengembangan TOD. Penelitian
menggunakan metode kualitatif dengan teknik wawancara semi-terstruktur dan dataiii
dari beberapa FGD, didukung dengan data sekunder berupa tinjauan terhadap
kebijakan dan peraturan, serta sumber dari situs perusahaan dan berita media.
Kerangka teoretik yang dikembangkan berdasarkan teori strukturasi membagi arena
tindakan ke dalam 2 (dua) arena, yakni arena formal dan arena informal.
Penggambaran kedua arena ini dipakai guna menunjukkan hubungan horisontal
antararena, apa pilihan arena masing-masing agen dan bagaimana tindakannya
dalam setiap arena. Untuk dapat mengoperasionalkan kerangka teoretik maka
dalam penelitian ini juga dikembangkan kerangka analisis berdasarkan Institutional
Analysis Development (IAD) oleh Ostrom untuk dapat secara lebih tajam melihat
hubungan vertikal antararena tindakan. Kerangka analisis Adapted IAD (AIAD)
yang dikembangkan akan menjelaskan masing-masing tindakan agen ke dalam 4
(empat) tingkat tindakan secara vertikal yakni tingkat operasional, pilihan kolektif,
konstitusional, dan meta konstitusional. Tindakan agen khususnya pada tingkat
operasional yang terkait dengan pengolahan dan pemanfaatan material fisik dengan
demikian dapat diamati secara lebih tajam.
Kerangka teoretik yang dikembangkan dalam penelitian ini perlu melihat konsep
TOD secara komprehensif dan untuk itu ditempatkan 4 (empat) aspek utama dalam
pengembangan TOD yakni aspek regulasi, aspek perencanaan dan desain, aspek
kelembagaan, dan aspek pendanaan dan pembiayaan ke dalam kedua arena tersebut.
Pengamatan pada masing-masing keempat aspek pengembangan TOD dengan
mempergunakan kerangka teoretik berdasarkan teori strukturasi dan kerangka
analisis AIAD dapat mengupas dan mengungkapkan bagaimana pendekatan formal
dan informal terjadi dan bagaimana informalitas bekerja dalam kaitannya dengan
proses konsensus yang dilakukan.
Temuan dari penelitian ini adalah bahwa: (i) stakeholder kunci dalam
pengembangan TOD di dalam studi kasus adalah pihak pemerintah pusat,
pemerintah daerah, agensi transit, dan developer. Dalam kasus ini pengembangan
TOD belum melibatkan pihak masyarakat lokal, penghuni atau pengguna TOD
dalam pengambilan keputusan; (ii) Terdapat kekosongan dan sejumlah konflik
regulasi dan belum terintegrasinya aturan transportasi dan tata ruang yang
mendorong terjadinya informalitas; (iii) Terdapat indikasi perwujudan kawasan
TOD melalui kasus MRT Jakarta yang mengkombinasikan pendekatan formal dan
informal, dengan kasus pengembangan TOD lainnya melalui pendekatan tunggal
formal dan informal belum memenuhi prinsip perencanaan dan desain TOD dan
cenderung bergeser menjadi Transit-Adjacent Development (TAD); (iv) Terjadinya
koordinasi antara agen transit dan pengembang di tingkat operasional, namun
fungsi koordinasi pada tingkat lembaga pilihan kolektif masih mengalami
kekosongan; (v) Munculnya kesepakatan pembiayaan alternatif dalam skema Land
Value Capture (LVC) secara informal antara agen transit dan developer, walaupun
pendanaan dan pembiayaan publik masih terbatas pada penyediaan sistem transit
dan belum tersedia mekanisme LVC secara formal untuk kawasan TOD; (vi)
Pendekatan informal yang terjadi umumnya didorong oleh penguasaan atas sumber
daya lahan dan kepentingan untuk pengembangan proyek properti olehiv
pengembang. Sedangkan arena formal belum menyediakan sumber daya yang
memadai bagi pengembangan TOD; dan (vii) pada keempat kasus yang diteliti
umumnya pendekatan informal yang dilakukan agen dalam melakukan konsensus
tentang pengembangan kawasan TOD belum mendorong terjadinya kesepakatan
keberhasilan pemenuhan fitur fasilitas publik TOD, kecuali pada kasus MRT
Jakarta yang memperoleh penetapan dan wewenang pada agensi transit sebagai
Operator Kawasan TOD. Kasus MRT menunjukkan adanya kesepakatan
pemenuhan fitur fasilitas publik yang memenuhi prinsip konsep TOD, berbeda
dengan kasus LRT dan Kereta Komuter.
Berdasarkan temuan di atas penelitian ini mengungkapkan bahwa pada tingkat
operasional pendekatan informal lebih efektif dalam mencapai kesepakatan
antaragensi transit dan aktor privat khususnya pengembang, ketimbang pendekatan
formal yang justru menyebabkan sulitnya tercapai kesepakatan. Hal ini disebabkan
karena tidak memadainya aturan formal di tingkat pilihan kolektif yang dibutuhkan
untuk mengatur tindakan agen di tingkat operasional. Konsensus yang dicapai
melalui pendekatan informal atau pendekatan yang dilakukan di luar aturan yang
berlaku, bekerja pada tingkat operasional, yakni tingkat tindakan yang mengarah
langsung pada perwujudan material fisik atau penggunaan sumber daya. Hasil dari
konsensus tersebut adalah masterplan kawasan TOD yang secara indikatif
menunjukkan potensi pemenuhan prinsip 5D suatu kawasan TOD (density, design,
destination access, distance to transit, diversity). Di sisi lain penyediaan aturan
TOD di tingkat pilihan kolektif masih sulit dilakukan karena lemahnya koordinasi
dan sinkronisasi aturan antarsektor pemerintahan serta prosedur penyusunan aturan
yang memakan waktu panjang, terutama menyangkut integrasi aturan tata ruang
dan aturan transportasi yang dibutuhkan untuk pengembangan TOD.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa informalitas melalui perencanaan
konsensus bekerja pada tingkat operasional dapat mendorong keberhasilan
pengembangan TOD. Produk perencanan yang berpotensi untuk mendorong
terwujudnya pengembangan TOD dihasilkan melalui peran koordinasi agensi
transit. Dalam arena informal peran agensi transit menjadi sangat penting dan
membesar karena adanya peran pemerintah yang diambil alih oleh agensi transit
khususnya dalam mempertemukan kepentingan publik dan swasta berkaitan dengan
rencana dan pembiayaan yang dapat mendekati pemenuhan prinsip ideal kawasan
TOD. Produk konsensus yang secara informal dihasilkan oleh agensi transit dapat
menjadi usulan dan percepatan keputusan perubahan aturan guna lahan dan
bangunan khususnya bagi pemerintah yang berada yang pada tingkat pilihan
kolektif.
Namun demikian keberhasilan pemenuhan prinsip TOD secara jangka panjang
masih akan tetap tergantung pada arena formal pada tingkat pilihan kolektif yang
mempertemukan kepentingan para agen operasional dengan pihak pemerintah yang
mewakili kepentingan publik. Hal ini diperlukan agar terjadi perubahan aturan
untuk mengatur tindakan operasional selanjutnya guna mengurangi risiko
terjadinya pembangunan yang merugikan publik. Intervensi kebijakan olehv
pemerintah tetap diperlukan untuk tujuan jangka panjang perwujudan nilai-nilai
TOD.
Secara teoretik hasil penelitian ini akan melengkapi teori tentang perencanaan
konsensus yang belum secara mendalam membahas bagaimana informalitas
bekerja dan posisi arena informal dalam mempengaruhi perencanaan konsensus.
Kebaruan yang dihasilkan dari kasus pengembangan TOD terhadap teori konsensus
adalah adanya pemisahan antara arena informal di tingkat operasional dengan arena
formal. Hal ini membedakan pandangan dari teori sebelumnya oleh Woltjer yang
menyarankan agar aktor formal dan informal diidentifikasi dan dilebur ke dalam
dalam satu arena pencapaian kesepakatan.
Secara praktis hasil penelitian ini akan bermanfaat bagi multi pemangku
kepentingan yang terlibat dalam pengembangan TOD untuk dapat memahami
permasalahan dan untuk penyempurnaan kebijakan atau regulasi terkait. Penelitian
ini memberikan sejumlah rekomendasi praktis yakni agar pemerintah melakukan
perbaikan regulasi dan penataan institusi TOD untuk mewujudkan kawasan TOD
yang dapat secara efektif mencapai nilai-nilai positif dari konsep TOD dengan
memanfaatkan usulan produk perencanaan yang dihasilkan dari arena informal. Di
sisi lain pendekatan informal di level operasional melalui pemberian otoritas
kepada agensi transit sebagai Operator Kawasan TOD yang memiliki kepentingan
terhadap terwujudnya kawasan TOD yang ideal dapat menjadi referensi bagi
pengembangan kelembagaan TOD selanjutnya.