digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Minyak kelapa sawit merupakan salah satu minyak berbasis tanaman yang paling banyak dikonsumsi di dunia. Di masa sekarang, permintaan minyak kelapa sawit diproyeksikan terus meningkat karena penggunaan minyak kelapa sawit tidak lagi hanya di sektor pangan dan kesehatan, juga di sektor energi dan transportasi. Salah satu di antara pengimpor paling banyak untuk minyak kelapa sawit adalah Uni Eropa dan di sisi lain salah satu pengekspor paling banyak adalah Indonesia. Namun, kebijakan terbaru Direktif Energi Terbarukan Uni Eropa 2018/2001 atau disebut juga EU RED II, mengancam kelancaran aktivitas perdagangan ekspor dan impor minyak kelapa sawit antara Indonesia dan Uni Eropa. EU RED II mengharuskan minyak kelapa sawit untuk bersertifikasi rendah resiko ILUC dan membuktikan bahwa penanamannya berkelanjutan dan memenuhi tingkat tertentu dalam penghematan emisi gas rumah kaca sebagaimana diatur dalam EU RED II. Rekam jejak pembakaran hutan yang masif di Indonesia menunjukan kaitan yang tinggi dengan perluasan penanaman minyak kelapa sawit. Terlebih, beberapa laporan menunjukan bahwa teramati adanya ekspansi yang signifikan terhadap lahan dengan kadar karbon yang tinggi. Pada tahun 1990, tumbuhan minyak kelapa sawit di Kalimantan, Indonesia hanya ada sekitar 903km2 , berkembang pada tahun 2000 menjadi 8369km2 , dan mencapai 31.640km2 pada tahun 2010. Dengan demikian, penggunaan minyak kelapa sawit Indonesia di sektor energi dan transportasi Uni Eropa menjadi subjek untuk secara bertahap dihapus penggunaannya hingga 0% pada tahun 2030 karena memiliki resiko ILUC yang tinggi dan praktik tidak berkelanjutan dalam penanamannya. Sebenarnya, Indonesia sudah memiliki system sertifikasi yang berlaku untuk menjamin praktik yang berkelanjutan dalam penanaman minyak kelapa sawit melalui sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 11/2015. Mengingat bahwa Indonesia mengaku melakukan praktik yang berkelanjutan namun Uni Eropa memandang sebaliknya, ada sebuah celah diantara praktik berkelanjutan antara peraturan EU RED II dan sertifikasi ISPO. Analisis celah dalam riset ini dimulai dengan mengkonstruksi model rantai pasok dari sistem penanaman minyak kelapa sawit sebagaimana diatur dalam EU RED II dan sertifikasi ISPO. Dengan mengulas literatur secara ekstensif dari penelitian sebelumnya dan laporan mengenai praktik berkelanjutan juga tingkat kepatuhan pihak perusahaan terhadap sertifikasi ISPO, celah diantara status quo penanaman minyak kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia dengan praktik yang diatur dalam EU RED II sebagai referensi dianalisis. Hasil menunjukan bahwa ada 17 perbedaan utama dalam praktik rantai pasok berkelanjutan sebagaimana diatur dalam EU RED II dan system sertifikasi ISPO. Alasan dari celah tersebut bervariasi dari rendahnya sistem penegakkan hukum di Indonesia, isu sosial, hingga absennya hukum atau rencana menejemen itu tersendiri. Dalam kesimpulan, penulis mengajukan Langkah strategis yang bisa diadopsi oleh Indonesia untuk memenuhi EU RED II berdasarkan keputusan diambil dari AHP.