Tidak dapat dipungkiri bahwa framework Agile Software Development (SD) sudah umum digunakan dalam proyek-proyek Teknologi Informasi. Namun, banyak yang gagal menerapkannya (The Standish Group International, 2015). Masalah tersebut juga terjadi pada suatu perusahaan yang penulis jadikan sebagai objek penelitian (Finclusion) dalam penelitian ini. Pengamatan dan wawancara yang dilakukan terhadap 12 orang yang tergabung dalam tim proyek yang menggunakan Agile dalam dua tahun terakhir (hingga pertengahan tahun 2020), menunjukkan masalah ketergantungan pada seseorang, proses komunikasi, proses dokumentasi, pelingkupan dan fokus, dan kemampuan tim. Penulis melakukan penelitian literatur dengan mengeksplorasi semua literatur yang berhubungan dengan kegagalan implementasi Agile SD. Ada 14 makalah yang membahas kerangka pendukung (sebagai strategi adaptasi) yang digunakan untuk memahami isu-isu dalam implementasi Agile SD. Sayangnya. korelasi antara kerangka pendukung dan pemecahan masalah diragukan.
Oleh karena itu, diperlukan metodologi penelitian yang tepat untuk mengungkap permasalahan nyata dalam implementasi Agile SD terkait manusia yang biasanya kompleks dan berantakan. Diperlukan kerangka teoritis yang relevan yang mendukung proses pembelajaran sebagai pedoman untuk memperbaiki situasi masalah. Untuk itu, diperlukan metodologi penelitian yang cukup fleksibel untuk mendukung kerangka teoritis.
Soft Systems Methodology (SSM)-based Action Research (AR) diusulkan sebagai metodologi penelitian untuk mengeksplorasi masalah yang biasanya berantakan dan tidak jelas, dan yang paling penting dapat dieksplorasi sebagai sistem pembelajaran yang dapat mengakomodasi berbagai cara pandang dan pemikiran tentang situasi nyata dan berbagai kemungkinan. Analisis Data Kualitatif (QDA) diusulkan untuk memperkaya SSM dengan cara penyusunan masalah secara sistemik untuk menghindari asumsi kesepakatan pada satu Worldview saja dari situasi masalah. Transactive Memory System (TMS) sebagai kerangka teoritis digunakan untuk mendukung proses rekonstruksi pembelajaran. Simulasi menggunakan ABM untuk mengungkap cara-cara baru dalam melakukan proses adaptasi sebelum menetapkan aksi pada tahap enam (6) SSM atau sebelum menjalankan aksi pada tahap tujuh (7) SSM.
Dengan menggunakan SSM yang diperkaya oleh QDA diharapkan dapat mengungkap permasalahan empiris dalam Agile ceremony “Daily Stand Up” yaitu ketergantungan pada seseorang, masalah dalam proses komunikasi, masalah dalam proses dokumentasi, masalah dalam pelingkupan dan fokus, serta masalah dalam kemampuan tim. Penanaman "TMS-Learning Framework" ke dalam Daily Stand Up dapat merekonstruksi proses pembelajaran untuk meningkatkan proses implementasi Agile sebagai bagian dari pemecahan masalah dan memperkaya pengetahuan baru sebagai bagian dari penelitian. Menggunakan ABM untuk melakukan simulasi proses adaptasi dimana rekomendasi penelitian selanjutnya dapat mengeksplorasi pada tahap mana simulasi yang lebih tepat. Oleh karena itu, SSM yang diperkaya oleh QDA dan ABM dengan TMS-Learning Framework menjadi kebaruan penelitian ini yang membawa kebaruan metodologi penelitian dan minat teoritis.
Batasan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan hingga tahap keenam SSM yaitu "Mendefinisikan Aksi untuk Meningkatkan", tantangan untuk memodelkan semua faktor eksternal yang berkaitan dengan kognisi secara akurat (Eysenck dan Keane, 2005), dan hanya memodelkan Kerangka Belajar TMS tetapi tidak pada penerapan alat nyata.
Keywords: Action Research, Agent Based Modelling, Agile, Framework, Learning, Software Development, Soft System Methodology, Transactive Memory System, Qualitative Data Analysis