Pengendalian perjalanan kereta api didasarkan pada grafik perjalanan kereta api yang berlaku. Kekurangan yang dimiliki oleh gapeka ialah memiliki tingkat fleksibilitas yang rendah, sehingga penerapan instrumen kebijakan menjadi terbatas, dan implikasi ada pada kinerja kereta api yang tidak secara signifikan dapat diperbaiki ketika terjadi gangguan operasional kereta api. Oleh karena itu dibutuhkan suatu model yang dapat merepresentasikan sistem operasi perjalanan kereta api, yang kemudian dapat disimulasikan beberapa alternatif keputusan yang ditetapkan oleh pengguna model, sehingga didapatkan hasil simulasi berupa tingkat kehandalan operasional.
Model simulasi sistem operasi perjalanan kereta api dimodelkan atas subsistem berikut: (i) subsistem keberangkatan, (ii) subsistem perjalanan, dan (iii) subsistem kedatangan. Dalam model, diterapkan waktu operasional kereta api selama satu hari operasional (24 jam). Sarana kereta api yang diperhitungkan dalam model ialah kereta api dengan sifat perjalanan reguler. Pergerakan kereta api pada jaringan diasumsikan dengan area stasiun sebagai simpul/node dan segmen jalan rel sebagai ruas/link, dengan setiap segmen merupakan satu blok yang hanya dapat dilalui satu kereta api (untuk jalur tunggal) dan dua kereta api berlawanan arah (untuk jalur ganda). Kecepatan perjalanan kereta api pada setiap segmen dibatasi oleh batas kecepatan (taspat) dan ditetapkan berdasarkan data distribusi kecepatan operasi kereta api di segmen yang bersangkutan. Saat berhenti di stasiun, waktu pemberhentian kereta api di suatu stasiun ditetapkan berdasarkan sifat pemberhentian. Pergerakan lalu lintas kereta api ditetapkan berdasarkan aturan prioritas perjalanan menurut jenis dan kelas kereta api.
Studi kasus yang diterapkan pada model ini adalah kejadian pasca anjlokan di segmen Nagreg – Lebakjero sehingga pada segmen tersebut KA dapat melintas dengan kecepatan maksimum sebesar 10 km/jam. Berdasarkan penerapan alternatif kebijakan pada model, pola indikator kinerja yang terjadi ialah bahwa pengaruh intervensi pada suatu kelas kereta api secara umum akan berdampak pada kelas kereta api prioritas setelahnya menurut aturan prioritas pergerakan. Alternatif kebijakan mengatur waktu berhenti di stasiun pemberhentian pada KA dalam studi kasus dinilai lebih efektif dibandingkan mengatur ulang jadwal, karena menghasilkan indikator kinerja yang lebih baik untuk tundaan maupun ketepatan waktu.