Direktorat Jendral Imigrasi (DJI), sebagai salah satu organisasi pelayanan publik, menyadari pentingnya inovasi dalam perkembangan teknologi. Inovasi pada DJI penting karena akan berpengaruh pada kemudahan dala melakukan bisnis di Indonesia yang selanjutnya akan mempengaruhi kenaikan investasi asing di Indonesia.
Perhatian pada inovasi dibuktikan dengan adanya nilai kerja insitusi, yakni inovatif. Namun, the institusi masih tertinggal di belakang institusi pemerintahan lainnya dalam hal perkembangan inovasi. DJI belum pernah tercatat pada Top 99 Inovasi Pelayanan Publik dan pelayananan imigrasi masih jauh tertinggal dari negara lain setiap tahun.
Penelitian ini bertujuan untuk menciptakan strategi untuk mengembangkan inovasi melaui modal manusia dengan mencari factor penghambat inovasi dan factor-faktor kunci dalam membangun kapasitas inovasi. Wawancara semi-terstrutur dengan 21 pegawai di institusi, observasi, kuesioner, dan studi literatur digunakan sebagai metode pengunpulan data dalam penelitian kualitatif ini.
Penelitian ini dimulai dengan mengaudit tingkat inovasi yang ada. Berdasarkan laporan Global Innovation Index, inovasi di Indonesia masih tertinggal jauh dari negara lain. Menggunakan Innovation Diamond, dapat diketahui bahwa salah satu penghalang inovasi adalah organisasi itu sendiri. Sementara itu, berdasarkan Innovation Value Chain, DJI tidak memberikan upaya penuh dalam membangkitkan ide-ide pada proses inovasi.
Menggunakan data dari wawancara, dapat diketahui adanya 11 halangan dalam melakukan inovasi: (1) tidak ada pengalaman di bidang kerja, (2) kemampuan yang terbatas pada pekerjaan, (3) ketidaksesuaian kemampuan dan latar belakang dengan pekerjaan, (4) tidak ada tim di tempat kerja, (5) tidak ada dukungan dari atasan, (6) tidak ada manfaat untuk inovasi yang sukses, (7) tidak ada pembiayaan, (8) tidak ada kebebasan dalam melakukan ide, (9) tidak ada sumber daya, (10) regulasi yang ketat, dan (11) budaya organisasi.
Halangan tersebut dapat dijelaskan menggunkana TOE Framework sebagai factor penghambat dalam menciptakan inovasi. Pada konteks Teknologi, DJI tidak memiliki kemampuan dan kesesuaoan dalam berinovasi. Pada konteks Organisasi, DJI kurang dalam hal hubungan pegawai, proses komunikasi, ketersediaan waktu, dan budaya organisasi. Sementara itu, di konteks Lingkungan, tidak ada regulasi yang mengatur inovasi.
Menggunakan Public Service Innovation Framework, diketahui bahwa DJI tidak memiliki kapasitas untuk berinovasi karena tidak memiliki kemampuan, motibasi, dan kesempatan. Para pegawai kurang dalam skill (soft dan hard skill) dan pengetahuan (tasit dan eksplisit); motivasi (intrinstik dan ekstrinsik) yang dipengaruhi oleh budaya organisasi, kepemimpinan, dan regulasi; serta kesempatan dalam berinovasi terkait otonomi dalam melakukan ide-ide.
Solusi untuk memperbaikin perkembangan inovasi di DJI adalah dengan mengaplikasikan model strategi inovasi melalui modal manusia. Dimulai dengan akuisisi pegawai, yakni merencanakan jumlah pegawai yang dibutuhkan, analisis pekerjaan, rekruitmen dan seleksi, dan menempatkan orang yang tepat di posisi yang sesuai. Sementara itu pegawai lama, langkah kedua dapat dilewati. Setelah akuisisi pegawai selesai, dukungan atasan dan pengembangan pegawai dapat dilaksanakan selama pekerjaan berlangsung. Dukungan atasan berupa pemberian hadiah untuk karya inovasi yang sukses, memberikan penghargaan bagi inovator, dan menghapus penghalang dalam berinovasi. Sementara itu, pengembangan pegawai dalam dilakukan dengan membangun jaringan dengan organisasi lain untuk menambah pengetahuan, pelatihan dan pendidikan yang berkaitan dengan bekerjaan, serta manajemen pengetahuan untuk berbagi pengetahuan dengan rekan kerja.