Indonesia memiliki potensi yang besar di sektor kelautan, dengan luas wilayah laut
yang mencapai 8,3 juta km2 atau 70 persen wilayah Indonesia. Luasnya wilayah laut
Indonesia ini menyimpan banyak sumber daya kelautan yang dapat dimanfaatkan.
Sejarah mencatat bahwa Indonesia sudah memanfaatkan laut sejak zaman Kerajaan
Majapahit dan Sriwijaya. Namun, budaya maritim Indonesia mulai hilang sejak
Belanda mengusai Indonesia dan membuat kebijakan-kebijakan yang berfokus pada
pemanfaatan di sektor agraris. Pada tahun 1957, Indonesia kembali menyadari bahwa
Indonesia merupakan bangsa maritim. Kemudian, diadakan deklarasi Djuanda dengan
tujuan untuk mengembalikan Indonesia sebagai bangsa maritim. Namun, selama
puluhan tahun Indonesia masih fokus pada sektor agraris. Hingga pada tahun 2000
terjadi Amandemen kedua UUD 1945, yang pada akhirnya menyebutkan bahwa
Indonesia merupakan negara kepulauan yang bercirikan nusantara.
Pemerintahan di laut khususnya di Provinsi Jawa Barat bukanlah perkara yang mudah
untuk diwujudkan. Dengan potensi sumber daya di wilayah pesisir, laut dan pulaupulau
kecil yang besar. Namun, selama ini arah dan kebijakannya didominasi oleh
bagaimana meningkatkan dan mengembangkan produksi perikanan sedangkan, urusan
seperti pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, penataan ruang laut,
masih belum berjalan secara optimal.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi arah dan kebijakan Dinas Kelautan
dan Perikanan Jawa Barat mewujudkan pemerintahan di laut. (2) Mencari kendalakendala
yang terjadi di Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Barat dalam mewujudkan
pemerintahan di laut. (3) Mengindentifikasi dampak yang terjadi dari setiap kendala
dalam mewujudkan pemerintahan di laut. Metode yang dilakukan dalam penelitian
ini adalah deskriptif-kualitatif. Teknik pengumpulan data dengan wawancara dan
dokumentasi. Adapun metode analisis yang dilakukan menggunakan analisis matriks
korelasi, analisis DPSIR (Driver-Pressure-State-ImpactResponse) dan analisis jejaring
aktor.
ii
Hasil dari analisis deskriptif diketahui bahwa pemerintahan di laut dibentuk
berdasarkan UU 23/2014 tentang pemerintahan daerah serta UU 32/2014 tentang
kelautan yang menjadi dasar pelaksanaan pembangunan kelautan oleh pemerintah
daerah. Pemerintahan di laut harus dibentuk berdasarkan komponen-komponen yang
terdapat dalam UU 32/2014 tentang pemerintahan di laut. Selain itu, berdasarkan hasil
matriks korelasi terlihat dengan adanya perubahan UU 23/2014 tentang pemerintah
daerah tersebut berdampak pada mulai adanya arah dalam tugas pokok dan fungsi
kepada pembangunan kelautan. Serta berdasarkan hasil DPSIR menunjukan bahwa
dampak yang terjadi dari kondisi dinas kelautan dan perikanan diantaranya, dinas
kelautan dan perikanan tidak mampu menyelesaikan masalah kelautan, rusaknya
sumber daya di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil, menurunnya pendapatan
masyarakat, dan menurunnya jumlah nelayan.
Berdasarkan penelitian ini, diketahui bahwa arah dan kebijakan pengelolaan dan
pemanfaatan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil tidak terumuskan sampai ke
tingkat objektivitas, perubahan UU 23/2014 tentang pemerintah daerah dan UU 1/2014
tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi kendala dalam
proses penataan ruang laut, karena menimbulkan ketidakpastian hukum. Selain itu,
berdampak pada terjadinya perubahan kelembagaan yang menimbulkan
ketidakselarasan dengan rencana strategis dinas kelautan dan perikanan serta adanya
prioritas program dan kegiatan di sektor perikanan yang lebih menekankan pada
produksi perikanan. Namun, dari semua kendala yang terjadi dalam mewujudkan
pemerintahan di laut. Saat ini, dinas kelautan dan perikanan sudah mulai merumuskan
pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil dalam tugas,
pokok dan fungsi.
Perpustakaan Digital ITB