Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) merupakan perwujudan
demokrasi melalui pemberian hak berpartisipasi kepada masyarakat serta
melibatkannya di dalam proses penyusunan dokumen perencanaan pembangunan
dengan cara menyampaikan usulan kegiatan sebagai solusi atas permasalahan
publik yang dihadapi dan akan diakomodasi dalam Rencana Kerja Pemerintah
Daerah
Hanya saja banyak pihak setuju bahwa mengikuti kegiatan Musrenbang bukan
merupakan pengalaman yang kaya dan aspiratif, di banyak tempat proses ini
seringkali berupa ritual prosedural yang menghasilkan daftar keinginan dari
sekelompok orang yang memiliki kedekatan dengan pemerintah dan memiliki
akses terhadap sumberdaya yang tersedia. Sebuah kegiatan seremonial yang
dilaksanakan untuk menggugurkan kewajiban sehingga nilai demokrasi yang
menjadi esensi pelaksanaan Musrenbang sulit diwujudkan. Demikian juga yang
terjadi pada penyelenggaraan |Musrenbang di Kota Bandung.
Keberhasilan penyelenggaraan Musrenbang, berkaitan dengan proses
pengambilan keputusan kolektif yang dijalankan dalam forum tersebut.
permasalahan mengenai siapa yang mewakili masyarakat dan pengetahuan
mengenai cara yang digunakan untuk memahami permasalahan publik menjadi
kuncinya.
Untuk membahas permasalahan tersebut digunakan alat bantu sebuah framework
demokrasi yang disebut dialogical space yang digunakan untuk melakukan
pemetaan terhadap proses pengambilan keputusan kolektif dalam forum tersebut
sebagai bahan untuk memetakan pola-pola yang terjadi dan melakukan analisis
cost and benefit terhadap pola yang dijalankan agar dapat secara cermat
merancang mekanisme pengambilan keputusan kolektif yang memberikan
manfaat paling besar dan pola yang paling sesuai dengan situasi dimana proses
pengambilan keputusan tersebut dijalankan. Melalui framework demikian
melahirkan 2 pola demokrasi yaitu dialogis dan delegatif dengan karakteristik
yang berbeda. Dalam pembahasan mengenai representasi dikenal konsep
agregassi dan komposisi. Sedangkan berkaitan dengan bagaimana pengetahuan
mengenai cara yang digunakan untuk memahami permasalahan publik tersebut
dihasilkan lahir konsep secluded dan collaborative.
Melalui penelitian kualitatif yang penulis lakukan, diperoleh gambaran bahwa
pola demokrasi yang dijalankan dalam Musrenbang berbeda pada setiap tingkatan.
Pada Musrenbang tingkat kelurahan bersifat delegatif. Implikasi pola tersebut
terhadap kualitas proses pengambilan keputusan adalah (a)peluang tidak
terwakilinya heterogenitas kepentingan yang beragam dalam masyarakat
(b)keputusan Musrenbang tidak mencerminkan kebutuhan dan permasalahan
nyata yang dihadapi masyarakat.
Pola demokrasi yang dijalankan dalam proses forum Musrenbang tingkat
kecamatan bersifat delegatif walaupun apabila dibandingkan dengan penentuan
peserta di tingkat kelurahan, di kecamatan komposisinya lebih beragam. Implikasi
pola tersebut terhadap kualitas proses pengambilan keputusan adalah (a) adanya
kelompok masyarakat yang tidak terakomodasi kepentingannya sehingga
keputusan yang dihasilkan berpotensi tidak mendapat dukungan masyarakat (b)
keputusan Musrenbang tidak mencerminkan kebutuhan dan permasalahan nyata
yang dihadapi masyarakat
Pola demokrasi yang dijalankan dalam forum Musrenbang tingkat kota bersifat
dialogic. Implikasi pola tersebut terhadap kualitas proses pengambilan keputusan
adalah (a) dukungan masyarakat atas keputusan yang dihasilkan dari forum
tersebut (b) permasalahan publik yang dibahas merupakan permasalahan yang
nyata dihadapi masyarakat dan solusinya dapat disinergikan dengan program yang
akan dijalankan oleh Pemerintah.
Setiap pola demokrasi yang terbentuk mengandung kekuarangan dan kelebihan
masing-masing, dengan demikian tidak ada pola ideal yang dapat diterapkan pada
beragam situasi. Penerapan pola demokrasi tergantung pada karakteristik
masyarakat dan kapasitas penyelenggara kegiatan.
Dalam konsep yang ideal, pengambilan keputusan kolektif dalam forum
Musrenbang mengandung unsur-unsur sebagai berikut: (i) pemahaman yang baik
mengenai proses pengambilan keputusan kolektif baik pada penyelenggara dan
peserta (ii) para pihak yang terlibat memiliki kedudukan yang setara bukan subordinat
dari salah satu pihak; (ii) para pihak yang terlibat dapat mewakili
kepentingan yang beragam dari anggota masyarakat (iii) para pihak yang terlibat
memiliki informasi yang setara dan terlibat sejak awal; (iii) para pihak yang
terlibat ikut menentukan substansi dan prosesnya. (iv) adanya akuntabilitas
penyelenggaraan kegiatan berupa pemberian informasi kepada masyarakat
mengenai kelanjutan dari usulan yang disampaikan.