digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Dalam satu dasawarsa terakhir, akademisi dan pembuat kebijakan semakin mengkritik keberpihakan wilayah pada dominasi industri high-tech untuk meningkatkan pengembangan ekonomi wilayah melalui inovasi. Salah satu pemicunya adalah pergeseran paradigma pemaknaan dan proses terciptanya inovasi dari linier yang menitikberatkan R&D ke nonlinier model yaitu proses interaktif. Pandangan ini menyiratkan adanya proses sosial yang melibatkan kerjasama dan kolaborasi antaraktor dalam pembentukan inovasi. Dalam konteks hubungan dengan wilayah, industri memerlukan dukungan baik dalam bentuk kebijakan atau kondisi institutional tertentu dalam pengembangan inovasi. Hubungan antarfaktor tersebut terangkum dalam konsep Sistem Inovasi Regional(RIS). Penerapan RIS dalam hubungan antaraktor dengan wilayah yang direpresentasikan sebagai kebijakan dan institusi dalam mengidentifikasi proses inovasi masih dianggap sebagai kotak hitam karena minimnya bukti empiris, khususnya di negara berkembang. Dalam konsep RIS, industri low-tech memiliki peluang untuk berkontribusi dalam penciptaan inovasi. Konsep ini mengakomodasi, sifat keterbukaan dan proses interaktif dalam pembentukannya sehingga inovasi tidak semata-mata dimaknai sebagai perubahan radikal hasil dari R&D namun juga perubahan inkremental seperti proses, organisasi hingga pemasarannya. Negara berkembang di Asia Tenggara memiliki keunggulan daya saing pada industri low-tech. khususnya tekstil. Indonesia memiliki industri tekstil tradisional dengan pasar di dalam dan luar negeri. Produsen penghasil batik terbesar di Indonesia adalah Kota Pekalongan. Telah banyak studi dilakukan untuk memotret perkembangan industri batik di Kota Pekalongan yang dalam beberapa temuannya menyatakan bahwa variabel keberhasilan industri batik salah satunya adalah karena inovasi. Sebagai salah satu wilayah yang mengadopsi konsep RIS dalam mendukung pengembangan ekonomi wilayahnya, penelitian tentang bagaimana proses inovasi dalam industri batik dengan pendekatan RIS belum pernah dilakukan. Studi ini bertujuan untuk menemukan pola inovasi dengan menguraikan proses inovasi menggunakan elemen pembentuk RIS yaitu aktor dan kolaborasinya dengan institusi (kebijakan). Selanjutnya pola inovasi yang terbentuk dapat dijadikan sebagai panduan bagi pengembangan inovasi di wilayah lain dengan karakteristik wilayah dan industri yang serupa. Metode yang digunakan dalam studi ini adalah kualitatif dengan studi kasus. Pemilihan sampel dilakukan dengan purposive snowball sampling. Sampel dipilih dari 5 kelompok yang berbeda yaitu industri, universitas, pemerintah ,lembaga keuangan dan organisasi sosial. Dalam menemukan pola inovasi pada industri low-tech dilakukan dalam 3 tahapan analisis yaitu mengidentifkasi akt or dengan menggunakan variabel organizational thickness; menguraikan kolaborasi antaraktor dengan menjelaskan keterkaitan peran kebijakan wilayah d alam mendukung inovasi industri; dan mengkaji pola yang terbentuk dari kolaborasi tersebut. Hasil analisis menyatakan bahwa kebijakan sistem inovasi yang diterapkan oleh Kota Pekalongan ikut mendukung terbentuknya inovasi industri. Pemerintah melalui kebijakannya mampu menciptakan institutional change untuk mengarahkan kolaborasi antaraktor. Selain pemerintah faktor sosial seperti kedekatan relasi juga menjadi elemen penting dalam mendukung hubungan antaraktor terutama pada transfer pengetahuan. Kolaborasi dengan dukungan kebijakan dan sosial budaya ini menciptakan dua kondisi yang kondusif untuk berinovasi yaitu penelitian dan pembelajaran. Kondisi ini yang kemudian menggiring Kota Pekalongan tetap dapat mempertahankan wilayahnya menjadi produsen batik terbesar dan memberikan manfaat pada pengembangan ekonomi wilayah.