Bali merupakan sebuah pulau yang penuh dengan nilai – nilai kebudayaan dengan
proses penyampaiannya melalui sebuah pesan yang pemvisualisasiannya dalam
wujud simbol. Simbol bersifat cognitive constructs serta emotive, sehingga
dikatakan bahwa manusia menggunakan aktivitas simbolik dalam proses
pembudayaan. Fenomena perubahan kebudayaan merupakan akibat dari proses
pergeseran, pengurangan dan penambahan unsur sistem budaya karena adanya
proses interaksi dengan lingkungan. Pengamatan secara visual memperlihatkan
telah terjadi fenomena perubahan pemvisualisasian simbol dalam wujud pelinggih
di Bali. Wujud fisiknya mengalami perubahan bentuk dari wujud pelinggih yang
memiliki identitas budaya lokal Bali, namun fungsi esensinya sebagai tempat
pemujaan tidak berubah. Permasalahannya adalah masyarakat di Bali cenderung
menerima fenomena tersebut dalam proses berkehidupan hingga masa sekarang,
sebagai proses interaksi simbolik yang menjadi identitas warisan budaya.
Aktivitas keagamaan di Bali tidak terlepas dari penggunaan simbol – simbol,
bahkan simbol merupakan media bagi umat Hindu untuk ‘mendekatkan diri’ serta
‘memohon’ perlindungan Tuhan. Dicermati secara visual, terlihat bahwa di Bali
terjadi ‘pergeseran’ representasi simbol dalam wujud pelinggih, sebagai media
untuk mengomunikasikan pesan secara visual. Pelinggih merupakan salah satu
simbol alam semesta yang diyakini sebagai sthana Ida Sang Hyang Widhi Wasa
beserta manifestasi-Nya atau para roh suci leluhur. Konsep peletakan pelinggih
berupa Tri Mandala, yaitu kanistama mandala (area luar), madhyama mandala
(area tengah) dan uttama mandala (area utama). Keberadaan pelinggih di Bali
merupakan sarana mewujudkan harmonisasi dengan Tuhan, sesama dan alam.
Fenomena ‘keunikan’ secara visual pada perwujudan pelinggih, terdapat pada
wilayah Pura di daerah Bali Selatan dan Utara. Pelinggih unik tersebut berbentuk
mobil serta bunga teratai (terdapat lima simbol agama pada bagian singhāsana).
Penelitian etnografi terfokus, mengenai perubahan visualisasi simbol dalam wujud
pelinggih di Bali yang menjadi identitas warisan budaya, maka berupaya dipahami
konsep kebaruan dalam ‘proses kreatif’ diluar ‘konteks diri’ untuk
mengomunikasikan pesan melalui sebuah media komunikasi visual. Pendekatan
analisis visual digunakan untuk memahami bagaimana perubahan visualisasi
simbol dalam wujud pelinggih tersebut direproduksi untuk konsepsi religi atau
sakral.
Hasil penelitian menyatakan bahwa simbol dalam wujud pelinggih merupakan
hasil pengejewantahan pengalaman nyata yang bersifat memorable experience,
serta mengomunikasikan pesan akulturasi sistem budaya masyarakat yang saling
berinteraksi dengan lingkungan sosial sekitar pada masanya. Konsep
perwujudannya mengalami perubahan akibat kecenderungan perubahan proses
berpikir (organisme) dalam upaya meningkatkan stimulus untuk menghasilkan
respon yang impresif. Wujud visualisasinya mengandung nilai religi dan mitologis
yang berelasi terhadap konsep keseimbangan alam semesta, sehingga keberadaan
pelinggih unik tersebut cenderung dapat diterima hingga masa sekarang. Simbol
‘kebaruan’ terwujud dengan meminjam kode sakral yang sudah ‘mapan’ serta
melekat pada konsepsi simbol dalam wujud pelinggih. Perubahan konsep
visualisasi simbol tersebut bukanlah karena terjadinya degradasi nilai religi
maupun hasil proses berpikir masyarakat primitif, melainkan akibat
kecenderungan ‘pergeseran’ wujud rasa bakti dalam proses yadnya. Pergeseran
dilandasi kecenderungan tindakan manusia untuk mendekatkan atau
menghadirkan Ida Sang Hyang Widhi beserta manifestasinya, sehingga cenderung
peningkatan bakti yang semakin kuat serta mendalam menjadi proses
‘memanusiakan’ Tuhan. Proses tersebut mengakibatkan simbol menjadi
representasi wujud yadnya yang semakin mengikat serta mendekatkan pada
konsepsi manusia. Wujud visual simbol yang bersifat religi (sakral dan suci),
cederung bersinggungan dengan interaksi sosial dari konsepsi manusia dalam
proses berkehidupannya. Kecenderungan perkembangan proses berpikir
masyarakat pada masa terjadinya perubahan konsep visualisasi simbol dalam
wujud pelinggih pada tahun 1948, lebih bersifat ontologis. Dimulai pada tahun +
1965, perkembangan alam pikir masyarakat cenderung lebih bersifat pragmatis
serta fungsional dalam aktifitas sosial, namun tidak menghilangkan nilai mitologis
untuk memperkuat konsepsi sakral dan religius dalam proses interaksinya di Bali.
Prinsip keseimbangan dalam konsep Tri Hita Karana menjadi landasan
masyarakat menuju pada kesadaran spiritualnya.
Interpretasi terhadap perubahan visualisasi simbol dalam wujud pelinggih, dapat
mencegah pergeseran makna dan fungsinya serta mampu memperdalam
pemahaman terhadap ‘konsep diri’ masyarakat di Bali. Memahami ‘proses kreatif’
diluar ‘konteks diri’ dalam mengomunikasikan pesan yang bersifat religi melalui
media komunikasi visual, maka respon yang dihasilkan dari proses organisme
bersifat kesadaran kolektif. Penelitian ini berkontribusi pada keilmuan desain
komunikasi visual, karena pembahasan secara holistik berfokus mengungkap
esensi perubahan konsep visualisasi simbol dalam konteks mengomunikasikan
pesan secara visual, terkait analogi simbol dalam wujud pelinggih sebagai
medium pemujaan.