Keselamatan dan kesehatan para tenaga kerja di lingkungan kerja merupakan hak mendasar yang dimiliki para tenaga kerja sebagai warga negara. Oleh karena ini, hak tersebut dilindungi oleh undang-undang. Terabaikannya hak tersebut dapat berakibat kerugian bukan hanya pada pihak perusahaan/organisasi tempat para tenaga kerja bekerja, tetapi juga pada keluarga para tenaga kerja dan masyarakat luas. Dalam literatur, konsep untuk menjawab permasalahan keselamatan dan kesehatan kerja dikenal sebagai K3. Salah satu langkah yang diambil Pemerintah untuk menjalankan amanah undang-undang tersebut adalah dengan mengembangkan, menjalankan dan mengevaluasi kebijakan-kebijakan serta program-program untuk menjawab permasalahan keselamatan dan kesehatan kerja. Pada prinsipnya, kebijakan yang disusun oleh pemerintah mempunyai tujuan untuk melindungi tenaga kerja.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh ILO dalam Global Estimates of Occupational Accident (2007), menempatkan Indonesia pada peringkat 152 dari 153 negara yang diteliti. Berangkat dari hal tersebut, ILO membuat kesimpulan bahwa implementasi K3 di Indonesia masih belum sesuai dengan jauh dari yang diharapkan.
Dalam penelitian ini dilakukan pengumpulan data yang bersumber dari dokumen, wawancara, dan observasi lapangan. Penelitian dilaksanakan di lingkungan pemerintahan selaku pembuat kebijakan K3 Nasional, Lembaga K3 Nasional dan studi kasus di PT. X (Manufaktur Sepatu) dan PT. Y (Industri Konstruksi).
Analisa akan dipandu oleh perspektif teoretikal actor-network theory (ANT), atau disebut juga sosiologi translasional (translational sociology) yang dilakukan untuk melihat bagaimana konektivitas di lingkungan kerja dapat dikembangkan / diperkuat melalui adopsi program K3 melalui penelusuran pola interaksi seperti apa yang distimulasi melalui adopsi dan implementasi program K3 dan bagaimanakah konektivitas dipertimbangkan dalam kandungan program K3.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa kebijakan dan peraturan K3 yang dikonsepsi oleh Pemerintah saat ini, telah mempertimbangkan Konektivitas dalam kandungan programnya, namun demikian pola interaksi yang dilaksanakan dalam upaya pengadopsian program K3 malah mengarahkan pada konektivitas yang terputus-putus. Selain itu pola adopsi program K3 yang dikembangkan seringkali hanya melihat pada satu aspek saja, apakah itu aspek teknis saja atau aspek sosial saja. Keterkaitan antara aspek sosial dan aspek teknis dari adopsi program K3 tersebut, kurang mendapat perhatian dari pihak-pihak yang melaksanakan implementasi program K3.
Dalam praktek K3, keberhasilan penyelenggaraannya tidak bergantung pada satu pihak saja, apakah hanya pemerintah saja, atau perusahaan saja, namun semua pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung, karena tindakan yang diambil oleh salah satu pihak akan mempengaruhi yang lain. Sehingga dalam hal ini konektivitas atau keterkaitan adalah aspek penting yang dapat mempengaruhi keberhasilan terselenggaranya praktek K3 yang baik. Untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah praktis dan strategis untuk mencapai hasil yang lebih baik dalam upaya adopsi program K3.