Orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus wurmbii, Tiedemann 1808) termasuk spesies kera besar yang dikategorikan menjadi critically endangered species oleh IUCN pada tahun 2016. Rusaknya habitat orangutan menjadi penyebab utama menurunnya populasi Orangutan. Pada saat ini, orangutan seringkali masuk ke habitat manusia sehingga menimbulkan konflik. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan studi penanganan konflik orangutan-manusia yang lebih baik dengan mengidentifikasi keberadaan orangutan berdasarkan sarang dan individu, menganalisis tingkatan konflik, mengklasifikasi bentuk konflik, dan mengidentifikasi penanganan yang telah dilakukan di bentang alam Tanjungpura dan Mayak, Ketapang, Kalimantan Barat. Pengambilan data lapangan dilakukan dengan metode belt transect perpendicular distance (ppd) dengan total panjang transek 41.8 km dan luas area penelitian sebesar 1.25 km2. Dilakukan wawancara terstruktur dengan kuisioner dan pertanyaan terbuka terhadap penduduk yang terlibat di dalam konflik. Tingkatan konflik ditentukan dengan metode scoring. Selama penelitian hanya dijumpai 2 invidu orangutan dan 53 sarang pada 12 lokasi yang diklasifikasikan menjadi 20 sarang baru; 28 sarang agak lama; 5 sarang lama yang menunjukkan adanya potensi konflik yang nyata. Konflik terjadi diberbagai tipe habitat yaitu perkebunan masyarakat, hutan rawa gambut, dan hutan konservasi dengan tingkatan konflik adalah tinggi (7 lokasi); sedang (4 lokasi); rendah (4 lokasi). Tipe konflik yang ditemukan adalah perusakkan tanaman di kebun (94%) dan persepsi ketakutan (6%) terhadap kehadiran orangutan. Beberapa teknik pencegahan konflik seperti sekat tradisional dan penggunaan repellent dapat dicoba untuk pencegahan konflik jangka pendek, sementara translokasi, penerapan pengelolaan kawasan penyangga, dan perancangan koridor dapat direncanakan untuk tindakan lebih lanjut. Dapat disimpulkan bahwa konflik manusia-orangutan di bentang alam Tanjungpura dan Mayak terjadi pada berbagai tingkatan dan belum menemukan penanganan yang sesuai.