Kecenderungan meningkatnya kebutuhan energi migas membuat pencarian akan
sumber migas baru menjadi sangat penting. Kawasan Indonesia bagian timur
menjadi fokus dalam pencarian sumber daya baru. Cekungan Timor merupakan
salah satu cekungan di Indonesia bagian timur yang belum banyak dipertimbangkan
keberadaannya. Meskipun tercatat pernah beberapa perusahaan mencoba untuk
melakukan ekplorasi namun belum menemukan hasil yang dapat
dikomersialisasikan. Hal ini terkait dengan struktur Cekungan Timor yang
kompleks. Cekungan Timor termasuk di dalam wilayah tektonik Australia. Secara
geografis Cekungan Timor terletak pada 125,1°- 128° BT dan 9,4°- 11,1° LS.
Geometri Cekungan Timor relatif memanjang timur laut–barat daya dan berada
pada bagian tenggara Pulau Timor. Cekungan Timor pada bagian utara berbatasan
dengan tatanan tektonik rumit yang dihasilkan oleh tumbukan Lempeng Australia
dengan busur kepulauan (Palung Timor) dan pada bagian selatan cekungan ini
berbatasan dengan Rendahan Bonaparte, penumbukan Banda, dan Palung Timor -
Tanimbar yang bertindak sebagai batas tektonik.
Identifikasi batuan induk dilakukan pada delapan lintasan untuk mendapatkan
singkapan batuan dari beberapa formasi yang diduga memiliki potensi sebagai
batuan induk. Delapan lintasan tersebut adalah Lintasan Soe, Lintasan Kapan,
Lintasan Banli, Lintasan Bakulis, Lintasan Kefa, Lintasan Atambua, Lintasan
Halilik, dan Lintasan Bakitolas. Total terdapat empat puluh satu sampel batuan
yang diperoleh untuk dilakukan analisis karbon organik total dan pirolisis Rock-
Eval. Sampel singkapan batuan tersebut berasal dari beberapa umur dan formasi.
Formasi Pra-Bisane, Formasi Bisane, dan Formasi Maubisse merupakan formasi
pada umur Perem, Formasi Aitutu mewakili umur Trias, Formasi Wailuli mewakili
umur Jura, Formasi Nakfunu mewakili umur Miosen Awal, dan Formasi Batuputih
mewakili umur Miosen Akhir. Hasil dari analisis karbon organik total dan pirolisis
Rock-Eval digunakan untuk mengidentifikasikan formasi yang memilki prospek
sebagai batuan induk.
Batuan induk Perem yang terdiri dari Formasi Pra-Bisane, Bisane, dan Maubisse
memiliki nilai TOC buruk sampai sangat baik (0,17– 24,45%), tersusun oleh
kerogen tipe I-III, serta memiliki kecenderungan menghasilkan minyak dan gas.
Formasi Aitutu pada umur Trias memiliki nilai TOC buruk sampai sangat baik
(0,13–6,85%), tersusun oleh kerogen tipe II-III, serta memiliki kecenderungan
menghasilkan minyak dan gas. Formasi Wailuli pada umur Jura memiliki nilai TOC
buruk (0,33%) dan tersusun oleh kerogen tipe III. Formasi Nakfunu pada umur
Miosen Awal memiliki nilai TOC buruk sampai sangat baik (0,33–6,57%), tersusun
oleh kerogen tipe II-III, serta memiliki kecenderungan menghasilkan minyak dan
gas. Formasi termuda yaitu Formasi Batuputih yang mewakili Miosen Akhir
memiliki nilai TOC buruk sampai sangat baik (0,31 - 3,06%) dan tersusun dari
kerogen tipe III yang cenderung menghasilkan gas.
Hasil analisis TOC dan pirolisis Rock-Eval dilanjutkan dengan proses ekstraksi
untuk delapan sampel terpilih yang mewakili setiap formasi pada umur berbeda.
Analisis untuk mengetahui sidikjari biomarker ini dilakukan melalui metode GC
dan GCMS. Hasil dari sidikjari biomarker digunakan untuk mengidentifikasikan
perubahan biomarker yang terjadi pada setiap peristiwa geologi di daerah
penelitian. Perubahan material organik dan perbedaan lingkungan pengendapan
menjadi kunci pada setiap perubahan peristiwa geologi mulai awal lisu hingga
pascalisu yang dapat diamati dengan metode geokimia sidikjari biomarker ini.
Pada bagian utara daerah penelitian ditemukan dua gunung lumpur dari daerah
Lolowa dan Bakustulama yang diambil sampelnya untuk dikorelasikan dengan
singkapan batuan. Berdasarkan analisis sidikjari biomarker, kedua rembesan
gunung lumpur tersebut berkorelasi positif dengan singkapan batuan Formasi
Aitutu yang berumur Trias. Hal ini diperkuat dengan diagram bintang untuk melihat
kedekatan korelasi dan perhitungan tingkat kemiripan berdasarkan rasio antara
gunung lumpur dan singkapan batuan.
Perpustakaan Digital ITB