digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Kecenderungan meningkatnya kebutuhan energi migas membuat pencarian akan sumber migas baru menjadi sangat penting. Kawasan Indonesia bagian timur menjadi fokus dalam pencarian sumber daya baru. Cekungan Timor merupakan salah satu cekungan di Indonesia bagian timur yang belum banyak dipertimbangkan keberadaannya. Meskipun tercatat pernah beberapa perusahaan mencoba untuk melakukan ekplorasi namun belum menemukan hasil yang dapat dikomersialisasikan. Hal ini terkait dengan struktur Cekungan Timor yang kompleks. Cekungan Timor termasuk di dalam wilayah tektonik Australia. Secara geografis Cekungan Timor terletak pada 125,1°- 128° BT dan 9,4°- 11,1° LS. Geometri Cekungan Timor relatif memanjang timur laut–barat daya dan berada pada bagian tenggara Pulau Timor. Cekungan Timor pada bagian utara berbatasan dengan tatanan tektonik rumit yang dihasilkan oleh tumbukan Lempeng Australia dengan busur kepulauan (Palung Timor) dan pada bagian selatan cekungan ini berbatasan dengan Rendahan Bonaparte, penumbukan Banda, dan Palung Timor - Tanimbar yang bertindak sebagai batas tektonik. Identifikasi batuan induk dilakukan pada delapan lintasan untuk mendapatkan singkapan batuan dari beberapa formasi yang diduga memiliki potensi sebagai batuan induk. Delapan lintasan tersebut adalah Lintasan Soe, Lintasan Kapan, Lintasan Banli, Lintasan Bakulis, Lintasan Kefa, Lintasan Atambua, Lintasan Halilik, dan Lintasan Bakitolas. Total terdapat empat puluh satu sampel batuan yang diperoleh untuk dilakukan analisis karbon organik total dan pirolisis Rock- Eval. Sampel singkapan batuan tersebut berasal dari beberapa umur dan formasi. Formasi Pra-Bisane, Formasi Bisane, dan Formasi Maubisse merupakan formasi pada umur Perem, Formasi Aitutu mewakili umur Trias, Formasi Wailuli mewakili umur Jura, Formasi Nakfunu mewakili umur Miosen Awal, dan Formasi Batuputih mewakili umur Miosen Akhir. Hasil dari analisis karbon organik total dan pirolisis Rock-Eval digunakan untuk mengidentifikasikan formasi yang memilki prospek sebagai batuan induk. Batuan induk Perem yang terdiri dari Formasi Pra-Bisane, Bisane, dan Maubisse memiliki nilai TOC buruk sampai sangat baik (0,17– 24,45%), tersusun oleh kerogen tipe I-III, serta memiliki kecenderungan menghasilkan minyak dan gas. Formasi Aitutu pada umur Trias memiliki nilai TOC buruk sampai sangat baik (0,13–6,85%), tersusun oleh kerogen tipe II-III, serta memiliki kecenderungan menghasilkan minyak dan gas. Formasi Wailuli pada umur Jura memiliki nilai TOC buruk (0,33%) dan tersusun oleh kerogen tipe III. Formasi Nakfunu pada umur Miosen Awal memiliki nilai TOC buruk sampai sangat baik (0,33–6,57%), tersusun oleh kerogen tipe II-III, serta memiliki kecenderungan menghasilkan minyak dan gas. Formasi termuda yaitu Formasi Batuputih yang mewakili Miosen Akhir memiliki nilai TOC buruk sampai sangat baik (0,31 - 3,06%) dan tersusun dari kerogen tipe III yang cenderung menghasilkan gas. Hasil analisis TOC dan pirolisis Rock-Eval dilanjutkan dengan proses ekstraksi untuk delapan sampel terpilih yang mewakili setiap formasi pada umur berbeda. Analisis untuk mengetahui sidikjari biomarker ini dilakukan melalui metode GC dan GCMS. Hasil dari sidikjari biomarker digunakan untuk mengidentifikasikan perubahan biomarker yang terjadi pada setiap peristiwa geologi di daerah penelitian. Perubahan material organik dan perbedaan lingkungan pengendapan menjadi kunci pada setiap perubahan peristiwa geologi mulai awal lisu hingga pascalisu yang dapat diamati dengan metode geokimia sidikjari biomarker ini. Pada bagian utara daerah penelitian ditemukan dua gunung lumpur dari daerah Lolowa dan Bakustulama yang diambil sampelnya untuk dikorelasikan dengan singkapan batuan. Berdasarkan analisis sidikjari biomarker, kedua rembesan gunung lumpur tersebut berkorelasi positif dengan singkapan batuan Formasi Aitutu yang berumur Trias. Hal ini diperkuat dengan diagram bintang untuk melihat kedekatan korelasi dan perhitungan tingkat kemiripan berdasarkan rasio antara gunung lumpur dan singkapan batuan.