digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Fermentasi gas sintesis telah menjadi alternatif yang menarik dalam produksi bioetanol, mengingat gas sintesis yang diperoleh dari gasifikasi biomassa atau limbah organik dapat digunakan sebagai sumber karbon. Gas sintesis dapat dikonversi menjadi bioetanol dengan bantuan mikroorganisme asetogenik seperti Clostridium ljungdahlii dan Clostridium autoethanogenum melalui jalur reduktif asetil-KoA (Wood-Ljungdahl). Meskipun fermentasi gas sintesis menawarkan berbagai keuntungan, seperti independensinya terhadap rasio H?/CO yang konstan, variasi komposisi gas sintesis yang dihasilkan dari berbagai jenis biomassa, proses gasifikasi, dan kondisi operasional dapat memengaruhi efisiensi konversi gas menjadi etanol. Selain itu, tantangan lainnya termasuk fluktuasi konsentrasi gas terlarut, yang dapat memengaruhi kinerja mikroorganisme. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi efisiensi konversi gas sintesis menjadi bioetanol dan memberikan wawasan mengenai potensi komersialisasi proses fermentasi gas sintesis dari segi teknis dan ekonomi. Secara khusus, penelitian ini mengkaji pengaruh modifikasi media DSMZ 879 terhadap pertumbuhan inokulum Clostridium ljungdahlii DSM 13258 dan produksi etanol pada proses fermentasi gas sintesis dengan komposisi 25% CO, 15% H2, 20% CO2, dan 40% N2, serta menilai dampak fluktuasi komposisi gas inlet terhadap efisiensi proses fermentasi. Selain itu, penelitian ini juga melakukan kajian teknoekonomi untuk membandingkan kelayakan antara proses fermentasi gas sintesis dasar dan proses fermentasi dengan resirkulasi sel, guna menentukan pendekatan yang lebih ekonomis dan efisien dalam skala industri. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini mencakup modifikasi komponen media pertumbuhan sel dengan perubahan mikronutrien logam jejak (Ni²?, Zn²?, SeO?²?, dan WO?²?) serta modifikasi konsentrasi media makronutrien, seperti fruktosa, NaHCO?, dan MgSO?.7H?O. Optimasi media untuk produksi etanol dilakukan dengan menggunakan Response Surface Method (RSM) dengan desain komposit sentral, yang menggabungkan konsentrasi ekstrak ragi 0,5 g/L, MgSO? 1,1 g/L, dan NiCl? 0,3 mg/L. Modifikasi komponen mikronutrien logam jejak tidak meningkatkan hasil massa sel jika dibandingkan dengan media standar. Sedangkan modifikasi konsentrasi media makronutrien, berhasil meningkatkan massa sel inokulum, namun saat medium digunakan pada fermentasi gas sintesis, perolehan biomassa, asetat, dan etanol menurun dibandingkan dengan media standar. Konsentrasi ekstrak ragi 0,5 g/L, MgSO4 1,1 g/L, dan NiCl2 0,3 mg/L menghasilkan produksi etanol sebesar 0,25 g/L, dua kali lebih tinggi daripada fermentasi menggunakan media standar. Untuk menilai pengaruh komposisi gas inlet yang fluktuatif terhadap proses fermentasi gas sintesis, dilakukan pemodelan yang mensimulasikan pengaruh variasi kLa serta variasi gangguan komposisi gas, termasuk besar gangguan dan durasi gangguan pada proses fermentasi. Nilai kLa yang lebih tinggi, meningkatkan produksi metabolit hingga ambang batas kLa CO sebesar 300/jam. Peningkatan rasio CO2/CO selama fermentasi memengaruhi peningkatan produksi etanol dan asam asetat. Fluktuasi dalam komposisi gas menyebabkan perubahan lebih besar dalam konsentrasi metabolit. Hasil pemodelan kemudian divalidasi melalui eksperimen dengan laju alir gas sintesis yang digunakan adalah 80 ml/menit, temperatur reaksi 37°C, pH medium antara 4,5 hingga 6, waktu tinggal dari reaksi fermentasi adalah 16 hari, dan laju pengadukan selama proses fermentasi adalah 200 rpm. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa pemanfaatan komposisi gas masuk yang berfluktuasi, menghasilkan konsentrasi etanol yang lebih tinggi (0,42 g/L), dibandingkan dengan komposisi gas masuk standar (0,36 g/L). Perhitungan teknoekonomi pada proses fermentasi gas sintesis untuk produksi bioetanol menggunakan kapasitas unit produksi per tahun yang terdiri dari 16.160 m³ medium cair dan 1.280-ton gas sintesis, dengan harga beli gas sintesis sebesar Rp3.370 per kg. Analisis teknoekonomi menunjukkan bahwa optimasi proses—melalui pemendekan waktu fermentasi, pengurangan jumlah fermentor, dan penerapan resirkulasi media—berhasil menurunkan Capital Charge per Product (CCP) dan biaya operasional. Parameter yang dicantumkan dalam studi ini meliputi CAPEX yang awalnya sebesar Rp28,78 miliar, turun menjadi Rp22,34 miliar, dan OPEX yang turun dari Rp46,19 miliar menjadi Rp32,46 miliar setelah optimasi. Harga jual bioetanol yang awalnya dihitung sebesar Rp99.330 per liter, setelah optimasi turun menjadi Rp54.357 per liter. Namun, harga jual ini masih jauh di atas kisaran harga pasar internasional (CIF) saat ini, yaitu Rp13.260–Rp17.160 per liter. Secara finansial, optimasi proses mengurangi NPV dari Rp171,33 miliar menjadi Rp68,07 miliar, sementara Internal Rate of Return (IRR) tetap pada 8%, setara dengan Weighted Average Cost of Capital (WACC). Payback Period meningkat dari 10,43 tahun menjadi 11 tahun. Meskipun demikian, proyek ini belum kompetitif di pasar internasional tanpa faktor eksternal seperti subsidi, kontrak offtake jangka panjang, atau penjualan ke segmen harga premium. Untuk mencapai daya saing harga pasar, diperlukan peningkatan kinerja proses dan strategi komersial lebih lanjut, seperti meningkatkan titer, yield, dan produktivitas, menurunkan CAPEX dan OPEX, memanfaatkan co-products atau integrasi energi, serta mencari insentif kebijakan, kredit karbon atau pasar niche dengan harga premium. Berdasarkan analisis sensitivitas, variabel yang paling dominan adalah kapasitas produksi dan harga produk bioetanol.