Perlambatan pertumbuhan ekonomi mendorong masyarakat mencari alternatif
usaha, salah satunya perdagangan fesyen. Tren thrifting atau pembelian pakaian
bekas impor tumbuh pesat berkat harga terjangkau, variasi gaya, dan akses pasar
daring. Namun, fenomena ini menekan industri tekstil lokal, meningkatkan limbah,
serta menimbulkan risiko kesehatan. Pemerintah mencetuskan regulasi larangan
impor pakaian bekas, karena dampak negatif yang dihasilkan, namun belum efektif
karena tingginya permintaan tetap menjaga keberlangsungan pasar. Dengan
demikian, dalam konteks impor pakaian bekas, penguatan penegakan hukum dapat
diefektifkan dengan pelengkap berupa edukasi konsumen, kampanye kesadaran
terhadap ekonomi lokal, dan rekomendasi produk lokal sebagai alternatif lebih baik.
Salah satu strategi untuk menekan permintaan konsumen adalah menggunakan
demarketing yang perlu diketahui terlebih dahulu faktor pendorong dan hambatan
perilaku untuk merumuskan strategi yang baik. Maka dari itu, penting untuk
meninjau faktor pendorong dan hambatan perilaku berbelanja pakaian bekas impor
untuk mengurangi pembelian, terutama dari perspektif penegakan hukum yang
lebih efektif.
Studi literatur menunjukkan bahwa orientasi konsumen dapat dieksplorasi dalam
meninjau latar belakang perilaku konsumen. Penelitian melibatkan 10 variabel dan
245 responden dari Indonesia. Pengembangan model dilakukan dengan PLS-SEM.
Hasil penelitian menunjukkan adanya variasi signifikan dalam mengurangi
pembelian pakaian bekas impor serta ditemukan bahwa risiko dan disonansi yang
dirasakan oleh konsumen menjadi faktor yang penting. Studi ini memberikan
kontribusi teoritis dalam memperkaya literatur terkait strategi demarketing dan
serta implikasi praktis bagi pemangku kebijakan untuk mengefektifkan hukum
mengenai larangan impor pakaian bekas.
Perpustakaan Digital ITB