digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Naufal Hadyan Wibowo
PUBLIC Alice Diniarti

Kota Lama Semarang dikenal sebagai Little Netherland atau European Quarter karena memiliki konsentrasi bangunan cagar budaya berlanggam kolonial yang tinggi. Hal ini menjadi modal yang dapat dikembangkan sebagai pariwisata cagar budaya. Revitalisasi fisik yang dilaksanakan pada Kota Lama Semarang oleh Kementerian PUPR tahun 2019 bertujuan untuk mendukung perkembangan Kota Lama Semarang sebagai kawasan pariwisata. Namun, revitalisasi fisik ini akhirnya menimbulkan kritik terhadap konsep revitalisasi fisik yang kurang memperhatikan aset paling signifikan dari Kota Lama Semarang—citra visual arsitektural dari bangunan-bangunan cagar budaya itu sendiri. Perancangan ini bertujuan untuk menyusun rancangan ruang publik berdasarkan pada citra visual arsitektural bangunan-bangunan cagar budaya tersebut, pada kawasan paling signifikan di Kota Lama Semarang, yaitu koridor Jl. Letjen Suprapto. Dalam perancangan ini, metode yang digunakan sebagai analisis awal adalah asesmen dampak visual. Dalam suatu asesmen dampak visual, dilakukan identifikasi titik pandang di sepanjang koridor jalan yang memperlihatkan citra visual arsitektural bangunan cagar budaya. Dampak visual yang teridentifikasi dari objek ruang publik terhadap titik pandang disikapi dalam konsep perancangan. Konsep perancangan ini divisualisasikan dalam sebuah produk perancangan ruang publik dengan memperhatikan prinsip perancangan kota seperti aksesibilitas, ruang terbuka, kesesuaian, dan identitas. Lingkup kawasan yang dirancang adalah kawasan Kota Lama Semarang dengan konsentrasi pada koridor Jl. Letjen Suprapto, dengan objek-objek perancangan ruang publik yaitu jalan, jalur pejalan kaki, dan ruang terbuka. Dalam proses perancangan ini dapat ditemukan bahwa asesmen dampak visual merupakan salah satu instrumen yang dapat membantu penyusunan rancangan ruang publik di kawasan cagar budaya yang lebih memperhatikan citra visual arsitektural bangunan-bangunan cagar budaya di dalamnya. Namun, penyikapan asesmen dampak visual hanya mengatur penempatan tiap objek ruang publik. Pemilihan objek ruang publik secara lebih rinci membutuhkan kajian secara menyeluruh berdasarkan prinsip-prinsip perancangan kota.