digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Suchi Rahmadani
Terbatas Irwan Sofiyan
» ITB

Indonesia Timur merupakan wilayah dengan kondisi tektonik paling kompleks di Indonesia. Wilayah ini menjadi area interaksi antara empat lempeng aktif, yaitu lempeng Australia, Lempeng Pasifik, Lempeng Laut Filipina, dan Blok Sunda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi bahaya gempabumi di daerah tersebut menggunakan analisis regangan geodetik kontinyu. Laju regangan kontinyu dikonversi dari hasil interpolasi spline pada kecepatan GPS (Global Positioning System). Interpolasi spline diterapkan pada komponen lintang dan bujur dari data kecepatan geodetik dengan ukuran grid 30 × 30 km (~0.3 derajat). Data GPS yang digunakan merupakan hasil pengamatan 44 stasiun kontinyu dan 61 stasiun berkala milik Badan Informasi Geospasial (BIG) dari tahun 2010 hingga 2018 di wilayah Indonesia Timur. Adapun analisis laju regangan yang diestimasi terdiri dari beberapa produk regangan, yaitu: laju regangan utama (principal strain rate), laju regangan geser maksimum (maximum shear strain rate), laju dilatasi (dilatation rate), laju invarian kedua (second invariant rate), dan laju rotasi regangan (rotation rate). Estimasi principal strain rate memberikan rentang nilai 0.065–0.33 mikrostrain/tahun dan -0.299–(-0.003) mikrostrain/tahun, untuk komponen ekstensi dan shortening berturut-turut. Pola shortening dari principal strain rate dominan terjadi pada area subduksi, yaitu di Selatan Nusa Tenggara, Laut Banda, dan Utara Pulau Seram. Sedangkan pola ekstensi dominan terjadi pada area yang mempunyai struktur sesar geser dan daerah yang mengalami dampak pasca gempa, seperti daerah Leher Burung Papua dan Pulau Seram. Dari pola maximum shear strain rate, area yang mengalami shear paling besar adalah di sekitar Teluk Cendrawasih dan Kota Nabire di Papua (~0.295 mikrostrain/tahun). Fakta ini sejalan dengan pemetaan sumber gempa oleh Pusat Studi Gempa Nasional yang mengestimasi di daerah tersebut terdapat beberapa sesar geser dengan nilai slip rate 17-35 mm/tahun (Sesar Cendrawasih, Sesar Randawa, dan Sesar Wapoga). Area dengan nilai dilatation rate yang tinggi (~ |0.3| mikrostrain/tahun) terdapat di sekitar kota Sorong di Papua Barat, Nabire, Jayapura dan Membramo di Papua, dan Bima di Nusa Tenggara Timur. Pola shortening dominan terjadi di wilayah Laut Banda, Flores, dan Papua bagian Tengah (Pegunungan Jawawijaya), hal ini disebabkan karena adanya struktur sesar naik di daerah tersebut. Pola dilatasi shortening di Utara Flores menunjukan bahwa pada area tersebut mengalami akumulasi energi yang berpotensi menghasilkan gempa bumi di masa yang akan datang. Hasil selanjutnya dari analisis regangan yaitu estimasi second invariant rate (magnitudo regangan). Second invariant rate mempresentasikan bahwa semakin ke arah Timur, magnitudo regangan semakin besar, dengan rentang 0-0.42 mikrostrain/tahun. Daerah Utara Flores, Laut Banda, Leher Burung Papua, Teluk Cendrawasih, dan Jayapura memiliki magnitudo regangan paling besar dibandingkan daerah lain di wilayah Indonesia Timur (> 0.15 mikrostrain/tahun). Sedangkan pola rotation rate yang diestimasi dari tensor geodetik mengindikasikan bahwa daerah Indonesia Timur tidak berotasi dalam satu kesatuan rigid body. Pola tersebut menunjukkan bahwa wilayah Indonesia Timur didominasi oleh pergerakan rotasi searah jarum jam (clockwise) namun dengan nilai yang bervariasi. Kecepatan rotasi clockwise paling besar terlihat di area Membramo dan Halmahera. Sedangkan area dengan arah rotasi berlawanan jarum jam (counter clockwise) terjadi di area Timika, sebelah Utara Manokwari, dan Bima. Hal ini sejalan dengan penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa wilayah tersebut terbagi menjadi beberapa blok tektonik, yaitu MS: Molucca Seas, BS: Banda Sea, BH: Bird’s Head, MO: Maoke, TI: Timor.