Pada tahun 2010-2013 kota Bandung mengalami peningkatan temperatur rata-rata
yaitu sebesar 0,05 per tahun (BMKG Jawa Barat, 2014). Data statistik ini
menunjukkan kemungkinan telah terjadinya fenomena Urban Heat Island (UHI)
di kota tersebut, sehingga menyebabkan iklim kota terasa lebih panas dari
sebelumnya. Dalam menghadapi fenomena UHI ini, sejak tahun 2014 pemerintah
kota Bandung telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan
kuantitas Ruang Terbuka Hijau Kota (RTHK), salah satunya dengan menyusun
Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Untuk mengetahui adanya pengaruh
keberadaan RTHK bagi masyarakat kota, maka perlu diketahui bagaimana
adaptasi masyarakat terhadap kondisi termal RTHK tersebut.
Tesis ini bertujuan untuk mengetahui kualitas kenyamanan termal yang mampu
diadaptasi oleh masyarakat kota Bandung di ruang-ruang terbuka kota yang telah
diseleksi berdasarkan kriteria taman kota (Budiyanti, 2014) dan persentase nilai
Green Plot Ratio (GnPR / Rasio Kawasan Hijau). Penelitian ini menggunakan
metode pendekatan kuantitatif yaitu metode yang menggunakan analisis yang
terukur dan dapat dihitung menggunakan rumus-rumus tertentu. Tipe sampling
yang digunakan untuk penelitian ini adalah non-random sampling dengan teknik
purposive sampling (Kumar, 2005). Sampel penelitian ini ada tiga, yaitu:
Lapangan Gasibu, Taman Lansia, dan Lapangan Saraga (Lebak Siliwangi).
Berdasarkan hasil analisis ditemukan bahwa: (1) Berdasarkan hasil wawancara
dan pengamatan lapangan, kualitas termal yang paling baik di antara ketiga
sampel penelitian adalah sampel 2 (Taman Lansia), kemudian diikuti sampel 3
(Lapangan Saraga) dan sampel 1 (Lapangan Gasibu). Hasil temuan ini
menunjukkan bahwa hipotesa yang mengatakan bahwa semakin besar rasio
vegetasi suatu RTHK maka semakin besar pula nilai kenyamanan termalnya
adalah benar. Sedangkan berdasarkan hasil simulasi, hipotesa ini hanya berlaku
pada pagi hari dan tidak berlaku pada sore hari, baik di musim hujan maupun
kemarau; (2) Adaptasi masyarakat terhadap kualitas termal lingkungan RTHK
secara keseluruhan cukup baik. Sebagian besar responden mampu menerima
kondisi termal di ketiga lokasi atau sampel penelitian. Meskipun di sisi lain,
sebagian besar reponden ingin kondisi termalnya lebih dingin (cooler) daripada
kondisi yang terjadi pada saat dilakukan wawancara. Kepuasan terhadap kondisi
pembayangan, sinar matahari, dan angin di dalam kawasan cukup baik; (3)
Berdasarkan hasil analisis korelasi menggunakan software JMP, ditemukan
sebuah persamaan yang menunjukkan hubungan antara faktor termal lingkungan
(temperatur, kelembaban udara, kecepatan angin, dan temperatur radiasi) dan nilai
kenyamanan termal pengguna (TSV); Faktor termal lingkungan yang paling
berpengaruh terhadap nilai TSV pada ketiga sampel penelitian RTHK di kota
Bandung adalah RH (kelembaban udara relatif) dengan nilai probability atau Pvalue
<0,0001. Kemudian di urutan kedua adalah Air Velocity (kecepatan angin)
dengan nilai P-value 0,0234; (4) Besaran nilai PET rata-rata pada RTHK di kota
Bandung berada dalam rentang 22,9°C sampai dengan 25,1°C dengan sensasi
iv
termal sedikit dingin (slightly cool), dengan beban psikologis ringan (slight cold
stress). Nilai PET yang mampu diadaptasi oleh masyarakat kota Bandung ini lebih
rendah dibandingkan dengan kota-kota di negara (sub) tropis lainnya; (5)
Berdasarkan hasil simulasi komputer, diketahui bahwa daerah yang memiliki nilai
PMV yang baik adalah di daerah yang berdekatan dengan bangunan dan vegetasi.
Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan bangunan dan vegetasi sangat
berpengaruh terhadap kenyamanan termal suatu kawasan RTHK.
Dengan beberapa temuan tersebut, penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat
bagi para arsitek, perancang kota, maupun arsitek lanskap dalam merancang,
terutama mengenai ruang terbuka hijau kota di kota Bandung. Diharapkan
penelitian ini mampu ikut berpartisipasi dan memberikan kontribusi untuk masa
depan yang lebih baik.
Perpustakaan Digital ITB