digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Hilmanda Aryandi Putra
PUBLIC Irwan Sofiyan

COVER Hilmanda Aryandi Putra
PUBLIC Irwan Sofiyan

BAB 1 Hilmanda Aryandi Putra
PUBLIC Irwan Sofiyan

BAB 2 Hilmanda Aryandi Putra
PUBLIC Irwan Sofiyan

BAB 3 Hilmanda Aryandi Putra
PUBLIC Irwan Sofiyan

BAB 4 Hilmanda Aryandi Putra
PUBLIC Irwan Sofiyan

BAB 5 Hilmanda Aryandi Putra
PUBLIC Irwan Sofiyan

BAB 6 Hilmanda Aryandi Putra
PUBLIC Irwan Sofiyan

PUSTAKA Hilmanda Aryandi Putra
PUBLIC Irwan Sofiyan

Teknologi persinyalan di Indonesia saat ini memasuki babak baru, dimana banyak dibangunnya infrastruktur transportasi massal berbasis rel di daerah perkotaan yang lebih dikenal dengan nama urban transit. Mass rapid transport (MRT) Jakarta, Light Rail Transit (LRT) di Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi (Jabodebek) dan Palembang, serta Automated People Mover System (APMS) di Bandara Soekarno- Hatta merupakan contoh urban transit yang telah dibangun di Indonesia. Teknologi persinyalan yang diterapkan pada urban transit bukan teknologi persinyalan konvensional seperti yang telah ada sebelumnya di Indonesia, melainkan menerapkan sistem persinyalan mutakhir yaitu teknologi persinyalan Communication Based Train Control System (CBTC) dan European Train Control System (ETCS). Pada sistem persinyalan CBTC, salah satunya diterapkan pada APMS Bandara Soekarno-Hatta, memiliki tingkat otomasi yang tinggi dimana pengendalian kereta sudah tidak dilakukan lagi oleh masinis tetapi dilakukan oleh sistem secara otomatis. Sistem ini berbasis pada komunikasi radio yang kontinu antara kereta dengan pusat kontrol (control centre). Dalam sistem ini, setiap kereta mengirimkan data posisi dan kecepatannya ke Zone Controller (ZC). Dengan informasi data posisi dan kecepatan ini, ZC akan menghitung Limit of Movement Authority (LMA) dan mengirimkannya ke setiap kereta yang ada. LMA merupakan batas pergerakan kereta di dalam area CBTC. Data posisi dan kecepatan merupakan dasar untuk menghitung LMA setiap kereta, sehingga dibutuhkan sensor yang memiliki akurasi yang cukup tinggi untuk mengukur posisi dan kecepatan secara kontinu. Setiap sensor, seakurat apapun itu, memiliki ketidakpastian (uncertainty) ataupun kemungkinan terjadinya kesalahan dalam pengukuran yang bergantung pada karakteristik masing-masing sensor. Metode sensor fusion merupakan metode yang menggabungkan data pengukuran dari beberapa sensor yang memiliki karakteristik pengukuran yang berbeda-beda untuk mendapatkan hasil pengukuran yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan sensor secara individual. Saat ini, informasi kecepatan pada APMS diperoleh dari tachometer. Secara periodik informasi dari tachometer ini dikalibrasi dengan transponder atau balise yang tersebar dengan jarak tertentu secara periodik di sepanjang rel. Balise ini dijadikan sebagai referensi nilai posisi absolut. Hasil perbandingan antara posisi absolut dengan posisi yang didapatkan dari tachometer memiliki nilai Root Mean Square Error (RMSE) sebesar 7,12 m. Sensor tambahan yang telah disiapkan dan direncanakan akan dipasang pada sistem APMS ini adalah akselerometer yang merupakan bagian dari Inertial Measurement Unit (IMU) yang terdiri dari akselerometer dan gyroscope. Apabila dibandingkan dengan nilai posisi absolut, akselerometer ini mempunyai nilai RMSE sebesar 7,41 m. Metode sensor fusion yang digunakan dalam penelitian ini adalah Extended Kalman Filter (EKF) dan Unscented Kalman Filter (UKF) yang dapat mengakomodasi model-model non linier yang sering kali ditemui di bidang keteknikan. Dari hasil pengukuran, perhitungan sensor fusion menggunakan metode EKF memberikan nilai RMSE untuk posisi yaitu sebesar 5,89 m. Sedangkan dengan menggunakan metode UKF, pembacaan posisi dari sensor fusion dibandingkan dengan posisi absolutnya memiliki nilai RMSE sebesar 3,65 m. Ini artinya baik metode EKF maupun UKF memberikan hasil pengukuran yang lebih baik bila dibandingkan penggunaan sensor secara individual. Metode UKF memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan EKF, karena dalam metode EKF terdapat proses liniearisasi dengan deret Taylor orde rendah yang memungkinkan memberikan hasil yang suboptimal. Sedangkan dengan metode UKF tidak terdapat proses linierisasi, sehingga cocok digunakan untuk model dengan non linearitas yang tinggi.