Kerentanan penghidupan yang dihadapi masyarakat pasca pemukiman kembali
akibat pembangunan Waduk Jatigede meningkat dengan hilangnya lahan
pertanian sebagai aset penghidupan. Keterbatasan lahan pertanian memaksa setiap
rumah tangga sebagai unit sosial terkecil di masyarakat beralih mata pencaharian
mengandalkan aset dan akses penghidupan yang dimiliki.Penelitian ini bertujuan
mengkaji kondisi aset penghidupan masyarakat yang terdampak, intervensi
pemerintah menurut pandangan masyarakat dalam memberikan akses terhadap
aset penghidupan, dan pola adaptasi yang diterapkan masyarakat di lokasi
pemukiman baru sebagai bentuk mekanisme bertahan hidup sekaligus usaha
mencapai penghidupan yang berkelanjutan.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dan kualitatif
berdasarkan data kuesioner, wawancara terstruktur, wawancara mendalam dan
observasi. Variabel untuk menilai aset penghidupan meliputi modal manusia,
modal alam, modal sosial, modal fisik dan modal keuangan.Penelitian ini
dilaksanakan di dua desa yang berada di pinggiran Waduk Jatigede yaitu di Desa
Jemah dan Desa Mekarasih. Metode random sampling dan purposive sampling
digunakan dalam penelitian ini. Analisis data disajikan dalam bentuk deskriptif
komparatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa modal alam yang dapat diakses rumah
tangga di Desa Jemah menurun sedangkan modal fisik meningkat setelah
pemukiman kembali. Sementara itu, modal alam yang dapat diakses rumah tangga
di Desa Mekarasih menurun begitu juga dengan modal fisik setelah pemukiman
kembali. Adapun intervensi pemerintah terhadap masyarakat terdampak dalam
upaya mengalihkan mata pencaharian belum mampu memulihkan perekonomian
secara berkelanjutan. Rendahnya modal sosial menjadi hambatan masyarakat
dalam menerima program pemerintah tersebut. Namun di sisi lain, peran institusi
perguruan tinggi ternyata mampu meningkatkan modal sosial dalam mengakses
sumber daya dan menjalankan program untuk pemulihan perekonomian.
Perpustakaan Digital ITB