digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800


COVER Yoga Windhu Wardhana
PUBLIC yana mulyana

BAB 1 Yoga Windhu Wardhana
PUBLIC yana mulyana

BAB 2 Yoga Windhu Wardhana
PUBLIC yana mulyana

BAB 3 Yoga Windhu Wardhana
PUBLIC yana mulyana

BAB 4 Yoga Windhu Wardhana
PUBLIC yana mulyana

BAB 5 Yoga Windhu Wardhana
PUBLIC yana mulyana

PUSTAKA Yoga Windhu Wardhana
PUBLIC yana mulyana

Polimorfisme merupakan kemampuan suatu senyawa dengan nama kimia yang sama berada dalam banyak wujud materi padat yang berbeda. Fenomena polimorfisme bahan aktif farmasi (BAF) masih belum mendapat perhatian serius di Indonesia. Penelitian yang berkaitan dengan peristiwa polimorfisme BAF yang beredar di Indonesia masih sangat terbatas. Padahal sifat fisikokimia setiap bentuk polimorf seperti termodinamika, kinetika, spektroskopi, permukaan, dan mekanik berbeda. Keseluruhan sifat fisikokimia tersebut akan mempengaruhi kemampuan proses produksi dan kualitas sediaan farmasi, demikian pula efikasinya. Dalam pengembangan produk, fenomena polimorfisme BAF menjadi faktor penting. Selain terhadap permasalahan kualitas dan hak paten produk, juga berkaitan dengan risiko stabilitas BAF selama proses manufakturing, distribusi dan penyimpanan. Oleh karena itu, dalam proses pengembangan sediaan farmasi dituntut pemahaman terhadap fenomena polimorfisme BAF terpilih. Stabilitas BAF pada umumnya didasarkan pada perubahan kimiawi saja, sedangkan fenomena polimorfik berada di luar hal tersebut. Dengan demikian penentuan waktu kedaluarsa BAF yang terurai akibat reaksi kimia tidak dapat diterapkan dalam fenomena fisika transformasi polimorfik. Melalui penelitian ini akan dipelajari bagaimana mekanisme dan kinetika perubahan (transformasi) dari salah satu BAF yaitu efavirenz (EFV) yang memiliki 23 bentuk polimorf. EFV adalah antiviral HIV (Human Immunodeficiency Virus) tipe 1 yang menjadi pilihan utama dalam menangani penderita AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) awal. Sementara itu, hanya bentuk stabilnya saja yang digunakan di dalam sediaan obat di pasaran daripada bentukbentuk lainnya. Bentuk polimorfik lainnya belum banyak dipelajari. Masih terdapat kekosongan informasi dari pustaka yang masih perlu dilengkapi tentang karakter polimorf EFV. Pada penelitian ini perolehan bentuk EFV melalui rekristalisasi bahan di pasaran dengan berbagai variasi jenis pelarut sesuai rentang polaritas (perbedaan konstanta dielektrik, ?) beberapa pelarut terpilih. Pelarut dipilih mengacu pada penelitian sebelumnya yang menggunakan rentang ?cukup lebar dari pelarut non polar hingga polar, yaitu n–heksana (?= 1,8), n–heptana (?= 1,9), metanol– etilasetat (?= 33 dan ?= 6), metanol (?= 33) dan asetonitril (?= 38). Sedangkan bentuk amorf cukup sulit diperoleh melalui cara penguapan pelarut, sehingga dipersiapkan dengan metode pendinginan cepat hasil leburannya. Kristal yang diperoleh kemudian dikarakterisasi secara lengkap baik morfologi, kristalinitas, perilaku termal, pola spektrum vibrasi, dan sifat kelarutan maupun disolusinya. Pemantauan awal perbedaan habit kristal diamati di bawah mikroskop polarisasi. Tampak adanya perbedaan morfologi keseluruhan produk rekristalisasi dan pendinginan cepat hasil leburan. Untuk memastikan bahwa habit kristal tersebut merupakan jenis kristal yang berlainan (polimorf) dilakukan pemeriksaan difraksi sinar–X serbuk terhadap sampel. Hasilnya ditemukan puncakpuncak pada sudut 2?berbeda. Hal ini membuktikan seluruh produk rekristalisasi merupakan polimorf yang berbeda. Perilaku termal hasil pemeriksaan DSC (Differential Scanning Calorimetry) dan DTA (Differential Thermal Analysis) setiap polimorf memperkuat perbedaan sifat setiap polimorf. Pola termogram dari polimorf metastabil (Form II maupun III ke Form I) memperlihatkan transformasi polimorfik berlangsung monotropi, dimana kelarutan bentuk stabil lebih rendah dan transisi melalui puncak eksoterm terlebih dulu. Guna memperoleh informasi yang jelas tentang gugus fungsi yang bertanggung jawab terhadap perbedaan orientasi struktur polimorf, digunakan metode spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infrared) dan Raman. Hasil pemantauan dari pola spektrum vibrasi kedua metode tersebut memperlihatkan kese-ragaman pola puncak, tetapi ada intensitas yang berbeda terutama pada bilangan ge-lombang 657; 2358; dan 3316 cm –1 . Masing-masing secara berurutan menggambar-kan pergerakan dari gugus ?(CF3), v(C?C), dan ikatan hidrogen pada amida R2[v(NH)]. Pada bilangan gelombang 657 dan 2358 cm – 1 intensitas spektrum FTIR dari dua bentuk polimorf (Form II dan III) sangat lemah. Konfirmasi dari spektros-kopi Raman memperlihatkan lebih jelas adanya pergeseran puncak bentuk stabilnya (Form I). Puncak-puncak yang lebih terbaca di spektroskopi Raman menunjukkan bahwa kedua bentuk (Form II dan III) mengalami peningkatan polarisabilitas sehingga gugus-gugus bergerak ke arah ikatan simetris dan semi simetris. Salah satu sifat fisika penting yang mempengaruhi efektivitas terapi obat adalah kemampuan bahan aktif melarut dalam air. Hasil pemeriksaan kelarutan dan disolusi partikulat polimorf yang dihasilkan memperlihatkan tiga polimorf yang paling larut dibanding bentuk stabilnya (Form I) yaitu Form II, III dan A (amorf). Diantara ketiganya, Form A menunjukkan ketidakstabilannya, terlihat dari penurunan kelarutan setelah 48 jam pengujian (menurun 18,4%) dan terlihat jelas penurunan laju disolusinya setelah 15 menit (sehingga total setelah 1 jam dibawah Form II sebesar 48,9+0,31% jumlah terlarut). Berdasarkan sifat dan karakter hasil pengamatan di atas, maka Form II dan III dapat digunakan sebagai kajian alternatif BAF yang direkomendasikan. Tetapi sebelum polimorf tersebut digunakan, peristiwa transformasi polimorfik yang terjadi perlu dipelajari. Transformasi polimorfik dari bentuk metastabil ke bentuk stabilnya selama pengolahan (manufaktur) dapat dipengaruhi energi panas dan mekanik. Induksi energi panas dilakukan melalui penyimpanan sampel di oven dalam beberapa variasi suhu. Sedangkan perlakuan mekanik melalui penggilingan sampel pada mesin giling otomatis (Retsch RM 100) yang berkecepatan tetap (90 putaran per menit), selama rentang waktu 30–220 menit. Pemeriksaan pendahuluan terhadap perubahan akibat panas dilakukan terhadap sampel pada waktu penyimpanan 60 menit dengan variasi suhu dari 70–120 O C. Sedangkan perubahan selama perlakuan mekanik dilakukan dengan variasi waktu dari 5–240 menit. Transformasi polimorfik yang terjadi dipantau menggunakan difraktogram sinar–X serbuk dan spektrograf Raman. Berdasarkan pemantauan di atas, maka ditetapkan tiga variasi suhu 60, 70 dan 80 O C dengan interval waktu penyimpanan dari 15–180 menit. Jumlah fasa yang berubah akan dikuantifikasi menggunakan metode Rietveld refinement menggunakan perangkat lunak MAUD (Material Analysis Using Diffraction) ver. 2.7. Sebelum kuantifikasi fasa (QPA, Quantitative Phase Analysis) dibuat, diperlukan model molekul yang cocok dengan pola difraktogram hasil percobaan. Hasil penelusuran pustaka dari database CCDC (Cambridge Crystallographic Database Center) diperoleh nomor disposisi CCDC dengan no. 728655, 758360, dan 767883 memiliki kedekatan pola difraksi dengan data percobaan. Hasil penapisan menggunakan Rietveld refinement dengan metode Le Bail antara data percobaan dan model diperoleh hasil perhitungan goodness of fit (GOF) = 1,66%, 2,27%, dan 6,2% dari Form I, II, dan III secara berurutan. Sesuai dengan pustaka, keseluruhan nilai GOF memperlihatkan kemiripan memadai untuk bisa digunakan dalam QPA. Jumlah fasa hasil perlakuan yang telah dikuantifikasi dengan MAUD ver. 2.7 kemudian diplotkan dengan berbagai persamaan mekanisme dan kinetika yang umum dan telah dipublikasi sebelumnya (Guo, Z., dkk., 2011, Cui, P., dkk., 2012, Zhang, Q., dkk., 2014). Hasil plot dengan nilai linearitas (koefisien korelasi, R 2 ) tertinggi (R 2 ?0,999) menunjukkan mekanisme dan kinetika yang terjadi selama perlakuan panas dan mekanik. Hasil perlakuan mekanik memperlihatkan Form II memiliki koefisien korelasi tertinggi pada mekanisme orde reaksi dua (R2). Hal ini menunjukkan proses penggilingan menyebabkan sistem kristal menjadi lebih homogen, dan perubahan tumbuh secara kuadratik (orde ke-2). Sedangkan Form III memiliki dua mekanisme yang mendominasi perubahan yaitu (1) mekanisme difusi 1 dimensi dan (2) geometri permukaan 3 dimensi. Dengan demikian perubahan terjadi baik dari sisi dalam (difusi) ke berbagai arah tak berdimensi, maupun dari sisi luar permukaan ke segala arah (pemuaian ruang). Untuk hasil pemanasan isotermal, terlihat setiap suhu memberikan perbedaan mekanisme yang khas, akibat adanya perbedaan besar laju panas (entalpi). Akibatnya terjadi perbedaan pertumbuhan sisi aktif kristal yang terpapar. Form II memiliki banyak mekanisme yang mungkin muncul bersamaan, tetapi mengingat hukum BFDH maka disimpulkan yang paling mungkin adalah mekanisme geometri permukaan 2 dimensi (G2), berarti perubahan bermula dari sisi luar permukaan yang menyebar luas ke segala arah. Sedangkan Form III memiliki sebaran mekanisme yang sering muncul pada geometri permukaan 3 dimensi, sehingga disimpulkan mekanisme tersebut adalah mekanisme paling mungkin terjadi. Berarti rata-rata perubahan berlangsung dengan cara inti kristal yang tumbuh dari sisi luar permukaan ke segala arah (pemuaian ruang). Energi aktivasi perubahan diperoleh dengan memplotkan model mekanisme pema-nasan isotermal terdekat terhadap persamaan Arrhenius. Nilai hasil perhitungan dari model mekanisme kinetika tersebut menghasilkan energi aktivasi yang berbeda untuk setiap polimorf yang bertransformasi. Hasil plot Arrhenius untuk Form II sesuai mekanisme G2 diperoleh energi aktivasi sebesar 23,05 kJ mol –1 dan waktu paro di suhu kamar 7,1 jam. Sedangkan Form III hasil perhitungan mekanisme kinetika G3 diperoleh energi aktivasi sebesar 47,2 kJ mol –1 dan waktu paro di suhu kamar pada 14,5 jam. Jumlah energi aktivasi pada kisaran 20–29 kJ mol –1 setara dengan energi ikatan hidrogen yang terbentuk pada air ataupun alkohol, dengan demikian perubahan orientasi molekul dari EFV Form II dapat terjadi dengan energi yang setara dengan pemisahan ikatan hidrogen pada air atau energi penguapan air. Dengan demikian EFV Form III masih lebih direkomendasikan penggunaannya mengingat energi aktivasi yang besar dan waktu paro perubahan yang relatif lebih lama. Penelitian ini telah berhasil mengungkap mekanisme dan kinetika terjadinya transfor-masi polimorfik dari polimorf EFV metastabil Form II dan III menjadi Form I. Metode kuantifikasi Rietveld refinement untuk penentuan fasa yang mengalami perubahan termasuk metode yang paling baru. Penelitian ini dapat dijadikan model dasar dalam penentuan stabilitas dan kinetika transformasi padatan dalam pengembangan sediaan farmasi.