Kepulauan Indonesia yang berada di sepanjang garis khatulistiwa, berada di antara posisi pergeseran ITCZ, dan merupakan sumber penggerak konveksi utama. Wilayah ini merupakan bagian dari monsun Asia-Australia dan IPWP, akibatnya curah hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh interaksi antara dinamika monsun dan Samudera Pasifik. Sirkulasi laut juga memberi dampak yang besar terhadap iklim di Indonesia, mengingat satu-satunya pintu masuk di lintang rendah yang meloloskan cabang sirkulasi termohalin (dikenal dengan Arus Lintas Indonesia, Arlindo), yang menghubungkan air dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia.
Laut Halmahera merupakan wilayah timur Kepulauan Indonesia yang tergolong ke dalam zona Anti-monsun karena sirkulasi monsun di zona ini terganggu oleh ENSO dan sirkulasi laut. Laut Halmahera berperan sebagai jalur timur Arlindo, yang dialiri oleh South Pacific Subtropical Water (SPSW) di lapisan termoklin dan Antartic Intermediate Water (AAIW) pada lapisan lebih bawah, yang dibawa oleh South Equatorial Current (SEC) yang telah diubah menjadi New Guinea Coastal Current (NGCC) dan New Guinea Coastal Undercurrent (NGCUC).
Untuk mengetahui perubahan iklim purba Halmahera, analisis multi proksi telah diterapkan pada bor sedimen laut MD10-3339 sepanjang 39.8m, diambil dari 00?26,67'S, 128?50,33'E dengan kedalaman air 1900m. Analisis-analisis yang dilakukan antara lain geokimia cangkang foraminifera (isotop oksigen, isotop karbon dan komposisi Mg/Ca) dari Globigerinoides ruber dan Pulleniatina obliqueloculata, komposisi unsur sedimen dengan analisis XRF-scanning, sifat-sifat magnetik yang dilakukan dengan pengukuran yang berkelanjutan pada sampel U-channel dan Anisotropy Magnetic Susceptibility, ukuran besar butir lanau anorganik (meansize sortable silt), dan analisis mikrofauna (foraminifera dan cocolit).
Berdasarkan analisis radiokarbon 14C AMS dating yang berasal dari cangkang G. ruber, MD10-3339 telah diendapkan sejak 65 ribu tahun yang lalu. Rekonstruksi suhu permukaan laut purba menunjukkan perubahan glasial-interglasial dengan rata-rata suhu permukaan laut (SPL) 29,5ºC pada Holocene, dan 26,6º C adalah
rata-rata SPL pada glasial. Hal ini menunjukkan bukti adanya kaitan antara lintang rendah dan lintang tinggi. SPL pada Last Glacial Maximum (LGM) adalah 26,3º C, sehingga perbedaan antara SPL Holosen dengan LGM adalah 3,2º C. Catatan SPL menunjukkan pengaruh kuat dari siklus presesi dan modifikasi obliquity, menunjukkan bahwa variabilitas di Halmahera Sea tidak hanya merupakan respon terhadap perubahan di bumi bagian utara, namun juga dipengaruhi oleh vaariabilitas local dan regional seperti monsun dan ENSO.
Kandungan nutrisi di Laut Halmahera lebih kaya pada glasial dibandingkan pada interglasial. Tingginya kandungan nutrisi pada glasial ini kemungkinan diakibatkan karena semakin aktifnya produktivitas karena terjadi pendangkalan termoklin yang dipicu oleh melemahnya stratifikasi di Samudera Pasifik Barat, ketika SPL menurun relatif terhadap lapisan yang lebih bawah. Akibat melemahnya suhu permukaan laut, tingkat presipitasi dan pasokan air tawar juga menurun. Tingginya kandungan nutrisi pada glasial juga kemungkinan karena adanya pasokan air termoklin yang dingin dan kaya nutrisi dari Pasifik Barat.
Arus dekat dasar laut Halmahera menunjukkan kecenderungan arah baratdaya-timurlaut. Intensitasnya pada glasial relatif tidak terlalu bervariasi, dan secara umum lebih kuat dibandingkan dengan pada interglasial. Hal tersebut kemungkinan bisa berkaitan dengan meningkatnya erosi yang membawa material yang lebih banyak dan lebih kasar dari area laut dangkal yang tersingkap ke permukaan ketika periode laut surut. Lebih kuatnya arus dekat dasar laut pada glacial juga diduga berkaitan dengan meningkatnya pembentukan Antartic Intermediate Water (AAIW) di Samudera Selatan yang juga didukung dengan intensifikasi arus NGCUC. Hasil ini juga merupakan bukti bahwa AAIW sudah mengalir ke Laut Halmahera setidaknya sejak 65 ribu tahun yang lalu.
Tidak seperti catatan SPL, tingkat presipitasi di Laut Halmahera tidak mencerminkan perubahan glasial – interglasial, serta lebih dikontrol oleh siklus presesi yang termodulasi ~33 ka dan semi presesi ~15 ka. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh dari regional seperti ENSO dan monsun juga mempengaruhi kondisi iklim di Halmahera. Presipitasi berkorelasi baik dengan insolasi pada September-November (SON, musim gugur) di ekuator menguatkan adanya pengaruh ENSO. Faktor lokal lain yang kemungkinan mempengaruhi kondisi iklim di Halmahera adalah pencampuran dan variablitas intra musiman.
Secara umum perubahan iklim masa lalu dapat dirangkum sebagai berikut: 64-34 ka, dicirikan oleh perubahan cepat skalaa ribuan tahun, ditunjukkan oleh perselingan periode antara hangat dan dingin, kemungkinan berkaitan erat dengan perubahan intensitas monsun musim dingin Asia; 34 – 22 ka, dicirikan oleh kondisi relatif hangat, presipitasi dan suplai sedimen meningkat, salinitas lebih rendah dan kandungan nutrisi yang tinggi. Kemungkinan besar berkaitan dengan kejadian seperti La Niña yang lebih sering, akibat pergeseran kolaam panas ke arah barat. Kemungkinan terdeeteksi proses pencampuran air. LGM (15-22 ka), dicirikan oleh SPL yang rendah, presipitasi rendah, air laut lebih salin, serta meningkatnya kekuatan angin yang bisa meningkatkan upwelling, kandungan nutrisi serta pencampuran. Kemungkinan diakibatkan oleh tidak simetris antara pemanasan di barat dan timur mengakibatkan menurunnya gradien tekanan antara barat dan timur, sehingga angin pasat melemah, akibatnya kondisi seperti El Niño yang dingin dan kering menjadi lebih sering. 13.5-11 ka, diindikasikan oleh penurunan suplai sedimen yang drastis, serta penurunan SPL, menunjukkan kondisi dingin dan kering, kemungkinan dipicu oleh meningkatnya monsun musim dingin Asia. Kejadian ini juga bersamaan dengan kejadian YD di bumi bagian utara. 8.2 ka diindikasikan oleh penurunan suplai sedimen yang drastis, serta penurunan SPL, menunjukkan kondisi dingin dan kering. Kejadian ini juga bersamaan dengan kejadian 8.2 ka yang berkaitan dengan penurunan salinitas dari sirkulasi di Atlantik Utara. Holosen, dicirikan oleh SPL yang hangat, presipitasi dan suplai sedimen meningkat, salinitas lebih rendah, serta menurunnya kandungan nutrisi.
Dapat disimpulkan bahwa Laut Halmahera sensitif terhadap perubahan iklim global serta perubahan regional seperti monsun dan ENSO. Kondisi iklim di Halmahera terutama dipengaruhi oleh perubahan volume es global yang terefleksikan dalam sirkulasi glasial-interglasial, sirkulasi arus laut, kekuatan regional seperti ENSO dan monsun, serta faktor lokal antara lain pencampuran.
Perpustakaan Digital ITB