digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Karena meluasnya korupsi setelah jatuhnya orde baru, Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia mengeluarkan RUU antikorupsi yang mengarah pada pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2002. KPK didirikan sebagai badan independen yang memiliki otoritas untuk menyelidiki dan mengadili kasus-kasus korupsi yang melibatkan personel penegak hukum atau pejabat publik. Karena KPK didirikan akibat kurangnya kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum yang ada, penting untuk menjaga lembaga baru ini bebas dari malapraktik yang merajalela dalam sistem layanan sipil negara. Kebutuhan untuk membangun budaya organisasi yang didasarkan pada integritas menjadi penting untuk memastikan pegawai KPK dapat menolak pengaruh yang tidak semestinya dan upaya untuk membersihkan birokrasi dapat dilakukan. Penelitian ini berusaha mengembangkan kerangka kerja konseptual budaya organisasi di lembaga penegak hukum dengan mengidentifikasi dimensi budaya organisasi di KPK. Selanjutnya, penelitian ini akan menentukan apakah ada dimensi budaya organisasi yang teridentifikasi unik dibandingkan dengan dimensi yang lebih universal yang banyak digunakan. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan wawancara semi terstruktur. Penelitian ini memanfaatkan data dari transkrip wawancara untuk menentukan dimensi budaya organisasi KPK sebagai lembaga antikorupsi. Penelitian ini mengungkap dua belas dimensi budaya organisasi yang muncul dari transkrip wawancara: (1) formalisasi, (2) integritas, (3) komitmen, (4) etika kerja, (5) power distance, (6) akuntabilitas, (7) dukungan manajemen, (8) kohesi sosial, (9) koordinasi, (10) orientasi terhadap antikorupsi, (11) kerjasama dengan masyarakat, (12) pembelajaran. Dimensi budaya organisasi dapat dikembangkan menjadi instrumen penelitian dan digunakan oleh KPK untuk menilai dampak budaya organisasi terhadap sikap staf, perilaku, dan kinerja