Biodiesel merupakan produk bahan bakar nabati terbarukan yang ramah lingkungan, dengan penerapan di Indonesia berupa diesel campuran B35 (35%-v biodiesel dan 65%-v petrodiesel). Biodiesel pada diesel campuran memiliki kelemahan yang dapat menyebabkan adanya ketidakcocokan material antara tangki baja karbon dengan diesel campuran, yang berujung pada peristiwa biokorosi atau Microbiologically Influenced Corrosion (MIC). MIC adalah hal yang perlu diperhatikan, mengingat MIC berkontribusi sebanyak 40% dari peristiwa korosi pada industri minyak dan gas. Oleh karena itu, penelitian ini dilaksanakan untuk mengidentifikasi peristiwa MIC pada sistem penyimpanan diesel campuran beserta metode pengendaliannya, yang dilakukan dengan 4 tahapan penelitian.
Penelitian tahap pertama mempelajari karakteristik dan resiko dari peristiwa MIC pada sistem penyimpanan diesel campuran di bagian interfasa minyak-air oleh isolat kultur campuran dari lumpur diesel. Peristiwa MIC pada kondisi ini memicu korosi seragam pada baja karbon dengan laju sebesar 0,05 mm/tahun (kategori moderate). Biodegradasi bahan bakar juga teridentifikasi, yang ditandai oleh peningkatan angka asam 10 kali lipat, menjadi 2,34 mg KOH/g setelah inkubasi selama 21 hari, yang melampaui batas standar PT. Pertamina (0,6 mg KOH/g). Pertumbuhan mikroorganisme, korosi seragam, dan korosi sumuran lebih dominan terjadi pada fasa air daripada fasa minyak. Hal ini menyebabkan terdeteksinya dua lapisan pada permukaan baja karbon, yaitu biofilm pada bagian atas dan produk korosi pada bagian bawah. Korosi sumuran cenderung terjadi akibat pertumbuhan biofilm yang tidak merata. Di daerah interfasa minyak-air, teridentifikasi biofilm yang relatif rapat, yang dapat menghambat difusi oksigen dari fasa minyak ke fasa air sehingga memicu terbentuknya kondisi anaerobik. Tahap ini memberikan keilmuan terkait pengaruh dan karakteristik mikroorganisme yang terlibat dalam MIC pada tangki diesel campuran serta usulan mekanisme MIC yang terjadi.
Penelitian tahap kedua mempelajari pengaruh minyak atsiri sebagai inhibitor-biokorosi alami dalam pengendalian MIC pada baja karbon, dengan mikroorganisme uji yaitu Pseudomonas sp. dan kultur campuran yang berasal dari lumpur diesel. Pada kedua jenis kultur, minyak atsiri clove bud pada konsentrasi 5.000 ppm menunjukkan efektivitas yang lebih tinggi dalam menekan pertumbuhan biofilm dibandingkan dengan minyak atsiri eucalyptus globulus 5.000 ppm, dengan penghambatan pertumbuhan mikroba variasi clove bud lebih baik di fasa air, sedangkan penghambatan pertumbuhan mikroba variasi eucalyptus lebih baik di fasa minyak. Sementara itu, minyak atsiri clove bud memiliki performa pengendalian MIC lebih baik pada kultur campuran, sedangkan minyak atsiri eucalyptus memiliki performa pengendalian MIC lebih baik pada Pseudomonas sp. Selain itu, kedua jenis minyak atsiri juga mampu menghambat korosi elektrokimiawi. Tahap ini memberikan keilmuan terkait performa minyak atsiri serta penentuan dosis terbaiknya sebagai inhibitor-biokorosi alami dalam pengendalian MIC, serta mekanisme inhibisi MIC dalam perannya sebagai inhibitor-biokorosi alami.
Penelitian tahap ketiga mempelajari pengaruh minyak atsiri sebagai film protektif dalam pengendalian MIC pada baja karbon, dengan mikroorganisme uji yaitu kultur campuran yang berasal dari lumpur diesel. Film protektif yang digunakan adalah biopolimer Ca-alginat yang telah dicampur dengan minyak atsiri dengan konsentrasi 5.000 ppm (sesuai konsentrasi hambat minimum). Penggunaan biopolimer Ca-alginat untuk kedua variasi minyak atsiri menyebabkan peningkatan laju korosi seragam, baik pada kondisi dengan maupun tanpa keberadaan mikroba. Peningkatan ini diduga disebabkan oleh adanya ion-ion klorida pada biopolimer, yang dapat meningkatkan konduktivitas biopolimer dan mempercepat proses korosi. Meskipun demikian, kedua jenis biopolimer menunjukkan kinerja yang baik dalam menghambat distribusi sumuran pada permukaan baja karbon, dengan biopolimer minyak atsiri eucalyptus globulus 5.000 ppm menunjukkan efektivitas yang lebih tinggi daripada biopolimer minyak atsiri clove bud 5.000 ppm. Tahap ini memberikan keilmuan terkait performa minyak atsiri sebagai film-protektif alami dalam pengendalian MIC, serta mekanisme inhibisi MIC dalam perannya sebagai film-protektif alami.
Penelitian tahap keempat mengevaluasi kelayakan tangki penyimpanan B35. Jika dibandingkan dengan kondisi tanpa mikroba, variasi Pseudomonas sp. menghasilkan umur tangki yang lebih tinggi, sedangkan variasi kultur campuran yang lebih merepresentasikan kondisi nyata di lapangan menyebabkan umur tangki lebih pendek. Penambahan inhibitor biokorosi terbukti efektif dalam memperpanjang umur tangki penyimpanan secara signifikan, baik pada kondisi dengan mikroba dan tanpa mikroba. Namun, penggunaan film protektif pada penelitian ini justru menurunkan umur tangki penyimpanan, baik pada kondisi dengan mikroba dan tanpa mikroba. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan film protektif masih memerlukan optimasi lebih lanjut sebelum dapat diterapkan secara efektif. Secara umum, semua variasi menunjukkan umur tangki lebih dari 20 tahun, yang merupakan umur desain tangki pada umumnya. Namun, perlu diingat bahwa estimasi ini hanya mempertimbangkan laju korosi seragam. Padahal, MIC juga melibatkan korosi sumuran. Oleh karena itu, penelitian lanjutan diperlukan untuk mengidentifikasi kedalaman sumuran sehingga laju korosi sumuran dapat dihitung dan umur tangki dapat diestimasi ulang secara lebih akurat.
Perpustakaan Digital ITB