digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Penetapan Jatinangor sebagai Kawasan Perguruan Tinggi (KPT) dalam tiga dekade terakhir telah mendorong ekspansi perguruan tinggi dan konsentrasinya yang terpusat, menyebabkan fenomena studentifikasi. Seiring dengan dinamika perkembangan perguruan tinggi, beberapa kawasan yang mengalami studentifikasi juga menghadapi proses de-studentifikasi, ketika kawasan yang sebelumnya mengalami studentifikasi mulai kehilangan daya tariknya bagi mahasiswa, ditandai dengan menurunnya jumlah mahasiswa yang tinggal di area tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk memahami proses de-studentifikasi dengan menjelaskan potensinya di Jatinangor. Penelitian ini menggunakan pendekatan mix method, dengan menggunakan beberapa analisis, diantaranya analisis statistik deskriptif, analisis konten, analisis asosiasi, analisis buffer, dan analisis dekriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat potensi de-studentifikasi di KPT Jatinangor, terutama pada jenis hunian HMO. Kelebihan pasokan hunian mahasiswa berperan sebagai pemicu utama. Sementara itu, preferensi mahasiswa, dinamika pasar akomodasi, serta kondisi pemilik HMO berinteraksi secara kompleks dalam membentuk proses tersebut. Terdapat transformasi hunian dari HMO ke PBSA, namun tidak signifikan. PBSA di Jatinangor tumbuh melalui dua cara. Pertama, melalui jual beli aset lahan dan bangunan, tanpa merubah bentuk fisik bangunan, tapi menjadikannya PBSA, dan dengan merubah bentuk fisik bangunan. Kedua, PBSAmelalui pembangunan baru,yang disediakan pihak kampus maupun swasta. Potensi de-studentifikasi di Jatinagor teridentifikasi pada fase empty beds yang ditandai dengan munculnya banyak tempat tidur kosong di dalam hunian mahasiswa, baik HMO maupun PBSA. Beberapa HMO di Jatinangor juga telah memasuki fase empty houses. Sementara itu, dalam merespon perkembangan hunian mahasiswa di Jatinangor, pemerintah daerah Kabupaten Sumedang belum memiliki regulasi yang spesifik dalam mengendalikan pertumbuhan hunian mahasiswa