Dalam rangka mendukung upaya transisi energi menuju sistem pembangkitan
listrik yang lebih bersih dan berkelanjutan, pemerintah Indonesia menetapkan target
Net Zero Emission pada tahun 2060. Salah satu strategi utama dalam mencapai
target tersebut adalah penerapan teknologi co-firing hidrogen pada pembangkit
listrik, khususnya di sektor Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU).
Hidrogen dikenal sebagai bahan bakar bersih dengan densitas energi tinggi dan
tidak menghasilkan emisi karbon dioksida saat dibakar. Oleh karena itu, hidrogen
menjadi kandidat ideal dalam menggantikan sebagian gas alam untuk mengurangi
emisi gas rumah kaca dari sektor ketenagalistrikan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kelayakan teknis dan ekonomi
penerapan co-firing hidrogen pada PLTGU Priok sebagai studi kasus. Evaluasi
dilakukan melalui pendekatan pemodelan dan simulasi teknis menggunakan
perangkat lunak Aspen Hysys, serta analisis biaya menggunakan metode Levelized
Cost of Electricity (LCoE). Selain itu, dampak lingkungan juga dianalisis melalui
penghitungan potensi pengurangan emisi karbon dioksida (CO?) berdasarkan
pendekatan gate-to-gate Life Cycle Assessment (LCA).
Dari aspek teknis, hasil simulasi menunjukkan bahwa skenario co-firing dengan
fraksi hidrogen sebesar 20% masih berada dalam batas operasional yang aman
untuk sistem turbin gas di PLTGU Priok. Parameter kritis seperti suhu masuk turbin
(TIT) dapat dipertahankan di bawah 1350°C, sementara suhu keluar turbin (TAT)
dapat dijaga di sekitar 600°C. Selain itu, penerapan co-firing ini meningkatkan
efisiensi siklus pembangkit sebesar 3,44% dibandingkan dengan sistem
konvensional yang sepenuhnya menggunakan gas alam. Efisiensi pembakaran yang
meningkat menunjukkan potensi optimasi penggunaan energi input dengan tetap
menjaga kestabilan operasional.
Secara ekonomi, hasil analisis LCoE menunjukkan bahwa biaya produksi listrik
setelah retrofitting berada pada kisaran Rp 1.503,10 per kWh. Angka ini lebih tinggi
dibandingkan dengan biaya listrik berbasis gas alam, namun peningkatan ini
dianggap wajar mengingat manfaat jangka panjang berupa penurunan emisi karbon
dan kontribusi terhadap ketahanan energi nasional. Penelitian juga menyoroti
sensitivitas LCoE terhadap harga hidrogen, di mana penurunan harga hidrogen
akibat skala ekonomi atau subsidi dapat secara signifikan menurunkan biaya
pembangkitan listrik.
Dari sisi lingkungan, skenario co-firing hidrogen 20% mampu menurunkan emisi
karbon dioksida hingga 4,93%. Selain itu, dengan mempertimbangkan penggunaan
hidrogen hijau (dari elektrolisis air menggunakan energi terbarukan), potensi emisi
dari hulu hingga hilir dapat ditekan secara signifikan. Meskipun demikian,
penelitian ini juga mencatat bahwa potensi peningkatan emisi nitrogen oksida
(NOx) akibat suhu pembakaran yang lebih tinggi harus diantisipasi melalui
teknologi pembakar low-NOx dan kontrol suhu yang cermat.
Kajian risiko yang dilakukan dalam penelitian ini mengidentifikasi beberapa
tantangan teknis seperti risiko flashback, kebutuhan modifikasi pada sistem
pembakaran, serta keharusan untuk membangun sistem penyimpanan dan distribusi
hidrogen yang aman dan efisien. Penggunaan burner tipe multi-nozzle dan multicluster
direkomendasikan untuk mengurangi risiko kilas balik (flashback) dan
menjaga kestabilan nyala api dalam kondisi campuran hidrogen-gas alam.
Secara keseluruhan, penelitian ini menyimpulkan bahwa implementasi co-firing
hidrogen dengan rasio 20% di PLTGU Priok layak secara teknis, memberikan
keuntungan efisiensi, serta mendukung pencapaian target dekarbonisasi. Temuan
dalam studi ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam pengembangan kebijakan
energi bersih dan roadmap transisi energi nasional, serta menjadi acuan bagi
implementasi teknologi hidrogen di pembangkit listrik lain di Indonesia.
Perpustakaan Digital ITB