digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Mochamad Ryan Setiawan
PUBLIC Open In Flipbook Ridha Pratama Rusli

Dalam rangka mendukung upaya transisi energi menuju sistem pembangkitan listrik yang lebih bersih dan berkelanjutan, pemerintah Indonesia menetapkan target Net Zero Emission pada tahun 2060. Salah satu strategi utama dalam mencapai target tersebut adalah penerapan teknologi co-firing hidrogen pada pembangkit listrik, khususnya di sektor Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU). Hidrogen dikenal sebagai bahan bakar bersih dengan densitas energi tinggi dan tidak menghasilkan emisi karbon dioksida saat dibakar. Oleh karena itu, hidrogen menjadi kandidat ideal dalam menggantikan sebagian gas alam untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor ketenagalistrikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kelayakan teknis dan ekonomi penerapan co-firing hidrogen pada PLTGU Priok sebagai studi kasus. Evaluasi dilakukan melalui pendekatan pemodelan dan simulasi teknis menggunakan perangkat lunak Aspen Hysys, serta analisis biaya menggunakan metode Levelized Cost of Electricity (LCoE). Selain itu, dampak lingkungan juga dianalisis melalui penghitungan potensi pengurangan emisi karbon dioksida (CO?) berdasarkan pendekatan gate-to-gate Life Cycle Assessment (LCA). Dari aspek teknis, hasil simulasi menunjukkan bahwa skenario co-firing dengan fraksi hidrogen sebesar 20% masih berada dalam batas operasional yang aman untuk sistem turbin gas di PLTGU Priok. Parameter kritis seperti suhu masuk turbin (TIT) dapat dipertahankan di bawah 1350°C, sementara suhu keluar turbin (TAT) dapat dijaga di sekitar 600°C. Selain itu, penerapan co-firing ini meningkatkan efisiensi siklus pembangkit sebesar 3,44% dibandingkan dengan sistem konvensional yang sepenuhnya menggunakan gas alam. Efisiensi pembakaran yang meningkat menunjukkan potensi optimasi penggunaan energi input dengan tetap menjaga kestabilan operasional. Secara ekonomi, hasil analisis LCoE menunjukkan bahwa biaya produksi listrik setelah retrofitting berada pada kisaran Rp 1.503,10 per kWh. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan biaya listrik berbasis gas alam, namun peningkatan ini dianggap wajar mengingat manfaat jangka panjang berupa penurunan emisi karbon dan kontribusi terhadap ketahanan energi nasional. Penelitian juga menyoroti sensitivitas LCoE terhadap harga hidrogen, di mana penurunan harga hidrogen akibat skala ekonomi atau subsidi dapat secara signifikan menurunkan biaya pembangkitan listrik. Dari sisi lingkungan, skenario co-firing hidrogen 20% mampu menurunkan emisi karbon dioksida hingga 4,93%. Selain itu, dengan mempertimbangkan penggunaan hidrogen hijau (dari elektrolisis air menggunakan energi terbarukan), potensi emisi dari hulu hingga hilir dapat ditekan secara signifikan. Meskipun demikian, penelitian ini juga mencatat bahwa potensi peningkatan emisi nitrogen oksida (NOx) akibat suhu pembakaran yang lebih tinggi harus diantisipasi melalui teknologi pembakar low-NOx dan kontrol suhu yang cermat. Kajian risiko yang dilakukan dalam penelitian ini mengidentifikasi beberapa tantangan teknis seperti risiko flashback, kebutuhan modifikasi pada sistem pembakaran, serta keharusan untuk membangun sistem penyimpanan dan distribusi hidrogen yang aman dan efisien. Penggunaan burner tipe multi-nozzle dan multicluster direkomendasikan untuk mengurangi risiko kilas balik (flashback) dan menjaga kestabilan nyala api dalam kondisi campuran hidrogen-gas alam. Secara keseluruhan, penelitian ini menyimpulkan bahwa implementasi co-firing hidrogen dengan rasio 20% di PLTGU Priok layak secara teknis, memberikan keuntungan efisiensi, serta mendukung pencapaian target dekarbonisasi. Temuan dalam studi ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam pengembangan kebijakan energi bersih dan roadmap transisi energi nasional, serta menjadi acuan bagi implementasi teknologi hidrogen di pembangkit listrik lain di Indonesia.