digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Wulan Suminar
PUBLIC Open In Flipbook Yuliani Astuti

Dua kejadian gempabumi besar terjadi di Indonesia dalam satu dekade terakhir, yaitu Gempa Palu 2018 (Mw 7.5) dan Gempa Cianjur 2022 (Mw 5.6). Kedua bencana ini menyebabkan dampak signifikan berupa korban jiwa, kerusakan infrastruktur, maupun kerugian ekonomi. Namun demikian, tingkat kerusakan bangunan dan jumlah korban jiwa ternyata tidak selalu berbanding lurus dengan magnitudo gempa yang terjadi. Fenomena ini mengindikasikan adanya faktor lain yang mempengaruhi tingkat kerusakan, khususnya kapasitas fisik bangunan dan kapasitas sosial masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kontribusi kapasitas fisik dan sosial terhadap tingkat kerusakan pascabencana. Metode yang digunakan adalah pendekatan campuran (mixed methods), dengan studi kasus pada wilayah terdampak di Kota Palu dan Kabupaten Cianjur. Pengumpulan data dilakukan melalui survei lapangan, observasi visual kerusakan bangunan, kuesioner dan wawancara mendalam untuk menilai kapasitas sosial dan literasi kebencanaan masyarakat. Hasil yang didapatkan antara laian bahwa kerusakan dapat terjadi akibat dari kondisi struktural (fisik) yang tidak sesuai dengan kondisi bahaya yang ada. Maka agar dapat sesuai, pengetahuan kebancanaan masyarakat harus tinggi. Implikasi bahwa bangunan mereka tidak baik, adanya faktor lain yaitu pengetahuan dan literasi kebencanaan yang rendah. Maka perlu dipertimbangkan didalam kajian risiko bencana untuk faktor yang sebelumnya belum terdefinisikan yaitu faktor kapasitas fisik. Kemudian, kapasitas fisik bangunan di kedua wilayah studi terbukti menjadi komponen dalam tingkat kerusakan struktural. Di Palu, bangunan rumah yang mengalami kerusakan berat sebanyak 40%, terutama di zona likuefaksi dan sepanjang jalur sesar aktif terdampak gempa dan tsunami, rusak sedang 29%, rusak ringan 23% dan tidak rusak 8%. Sementara di Cianjur, kerusakan bangunan sekolah dilihat dari struktur bangunan, dinding, plafon dan atap, yang mengalami kerusakan berat sebanyak 43%, rusak sedang 39% dan rusak ringan 17%. Dimana kerusakan tipikal pada bangunan sekolah yang diamati menunjukan kerusakan sedang sampai berat terjadi pada komponen nonstruktural (dinding, plafond, dan atap). Sementara pada komponen struktur (kolom dan balok) terdampak kerusakan ringan. Selain itu, tingkat literasi kebencanaan masyarakat terdampak berada pada kisaran 0-27% (untuk gempa), 13,8% (tsunami), dan 2% (likuefaksi), yang ditunjukkan dengan minimnya pemahaman risiko, kurangnya kesiapsiagaan, serta ketidaktahuan bahwa mereka tinggal di wilayah rawan bahaya. Maka perlu diperkuat dengan upaya peningkatan literasi kebencanaan secara berkala sebagai salah satu langkah mitigasi dalam pengurangan risiko bencana. Kebaruan dari disertasi ini terletak pada metodologi penyajian informasi empiris mengenai tingkat literasi kebencanaan, persepsi risiko, serta klasifikasi kerusakan bangunan berdasarkan kapasitas fisik dan sosial masyarakat secara simultan pada dua lokasi bencana berbeda. Disertasi ini juga memberikan masukan penting bagi penguatan model risiko bencana nasional agar lebih adaptif terhadap faktor sosial dan fisik. Rekomendasi dari penelitian ini antara lain perlunya integrasi data empiris sosial dan fisik dalam sistem pemodelan risiko nasional dan peningkatan literasi kebencanaan berbasis komunitas, dengan mengusulkan indikator kapasitas fisik berdasarkan temuan dilapangan.