Indonesia, yang terletak di Cincin Api Pasifik, merupakan negara kepulauan dengan aktivitas tektonik tinggi, menjadikannya rentan terhadap bencana geologi seperti gempa bumi. Gempa signifikan berkekuatan magnitudo 7,6 terjadi di Laut Banda dekat Kepulauan Tanimbar pada Januari 2023, yang diduga menyebabkan perubahan karakteristik dasar laut. Pemantauan perubahan batimetri ini sangat penting untuk keselamatan navigasi dan mitigasi bencana, namun metode konvensional memiliki keterbatasan. Metode Satellite Derived Bathymetry (SDB) menawarkan alternatif efisien dengan memanfaatkan citra satelit Sentinel-2 dan data altimetri LiDAR ICESat-2 untuk estimasi kedalaman. Penelitian ini menyelidiki kapabilitas SDB dengan pendekatan empiris (model Stumpf dan Lyzenga) dalam mendeteksi perubahan batimetri pascagempa.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memetakan perubahan batimetri di Kepulauan Tanimbar akibat gempa Januari 2023, mengevaluasi kinerja SDB empiris dalam mendeteksi perubahan pascagempa, serta menentukan algoritma SDB yang paling akurat di wilayah studi. Ruang lingkup penelitian mencakup Kepulauan Tanimbar untuk deteksi perubahan dan Pulau Pramuka untuk penilaian akurasi SDB. Data yang digunakan meliputi citra Sentinel-2 multi-temporal, data LiDAR ICESat-2 (ATL03) untuk kalibrasi dan validasi, data Single Beam Echo Sounder (SBES) dari Karang Semak Daun Pulau Pramuka untuk validasi akurasi vertikal SDB, serta titik kedalaman dari Peta Laut No. 463 sebagai referensi di Tanimbar. Data ICESat-2 dan SBES menjalani koreksi refraksi dan pasang surut (model TPXO10) sebelum digunakan. Analisis dilakukan dengan membandingkan model sebelum dan sesudah gempa, serta mengevaluasi akurasi menggunakan metrik statistik RMSE, MAE, dan R².
Hasil penelitian menunjukkan bahwa belum ada identifikasi definitif mengenai perubahan batimetri fisik aktual yang terjadi di sekitar Kepulauan Tanimbar dalam periode analisis. Meskipun terdeteksi perubahan yang sangat besar, mencapai 14 meter di beberapa lokasi, analisis lebih lanjut menunjukkan nilai-nilai ekstrem ini kemungkinan besar disebabkan oleh perbedaan batas maksimum pemodelan kedalaman antara citra yang digunakan (misalnya, citra April 2022 mampu memodelkan lebih dalam dibandingkan September 2022), daripada perubahan batimetri fisik murni. Secara umum, perubahan kedalaman di area yang lebih dangkal dari 20 meter tidak signifikan secara statistik, sementara perubahan di area yang lebih dalam dari 20 meter tidak dapat diinterpretasikan sebagai perubahan fisik karena variasi batas pemodelan kedalaman. Metode Satellite Derived Bathymetry dengan pendekatan empiris mampu mendeteksi perubahan kedalaman secara yakin jika perubahan tersebut lebih besar dari 3 kali ambang batas RMSE model kedalaman dan terjadi di kedalaman kurang dari 20 meter. Penerapan ambang batas ini krusial untuk menyaring noise dan fluktuasi, sementara perubahan kedalaman yang terdeteksi di area lebih dalam dari 20 meter harus diabaikan karena variasi batas maksimum pemodelan. Dalam konteks wilayah studi, Algoritma Lyzenga menunjukkan akurasi yang lebih tinggi dan kemampuan prediksi yang lebih baik, terutama di Kepulauan Tanimbar, serta cenderung lebih responsif terhadap variasi batimetri yang kompleks. Sementara itu, Algoritma Stumpf cenderung lebih akurat atau stabil dalam menghasilkan peta kedalaman yang konsisten dari waktu ke waktu di area yang stabil secara fisik.
Perpustakaan Digital ITB