digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Indonesia merupakan hasil interaksi Lempeng Eurasia, Lempeng India-Australia, dan Lempeng Pasifik. Konsekuensi kondisi ini menjadikan Indonesia rawan bencana geologi, khususnya gempa bumi akibat pergerakan dan interaksi lempeng–lempeng tersebut. Penelitian ini mencakup wilayah Lampung, Selat Sunda, dan Jawa Bagian Barat. Terdapat isu transisi tektonik antara Pulau Sumatra dan Pulau Jawa yang masih menyisakan persoalan geologi belum terpecahkan. Kondisi ini berdampak pada perkembangan struktur geologi, pola stres, dan potensi gempa bumi di wilayah tersebut, sehingga menjadi latar belakang penelitian. Penelitian ini mengajukan tiga pertanyaan utama, yaitu: (1) Mengapa terjadi perubahan dan perbedaan pola struktur di Pulau Sumatra dan Pulau Jawa? (2) Bagaimana karakteristik serta hubungan kinematik antara Sesar Semangko dan Sesar Cimandiri? (3) Di manakah zona berpotensi mengalami gempa bumi besar di masa mendatang?. Berdasarkan pertanyaan tersebut, hipotesis penelitian ini adalah: (1) Pembengkokan (bending) batas lempeng menyebabkan perubahan dan perbedaan pola deformasi di Lampung dan Jawa Bagian Barat, (2) Sesar Semangko dan Sesar Cimandiri menerus hingga ke indentasi Selat Sunda, serta (3) Zona perairan selatan Jawa Bagian Barat dan selatan Lampung berpotensi mengalami gempa bumi besar di masa mendatang, yang disebabkan oleh pergeseran sesar aktif atau megathrust. Metode penelitian mencakup analisis kelurusan morfostruktural, geomorfometri dengan parameter kurva hipsometrik (HC), integral hipsometrik (HI), dan rasio bentuk sub–DAS (BS). Selain itu, dilakukan inversi stres menggunakan data mekanisme fokus gempa bumi pada kedalaman 0–15 km, 15–33 km, dan 0–33 km berdasarkan metode grid dan zonasi. Penelitian ini juga mencakup pembuatan peta struktur geologi regional, reinterpretasi struktur geologi melalui penampang seismik dari penelitian terdahulu, serta identifikasi sesar aktif berdasarkan data gempa bumi. Hasil analisis kelurusan morfostruktural menunjukkan bahwa kelurusan di Lampung dikontrol oleh deformasi simple shear dengan arah dominan E–W, ESE–WNW, dan ENE–WSW. Arah tersebut termasuk dalam pola sesar antitetik (R2–X), transisi sesar antitetik X–lipatan/sesar naik, serta transisi lipatan/sesar naik–sesar sintetik P. Sementara itu, di Jawa Bagian Barat, pola kelurusan morfostruktural dipengaruhi oleh deformasi pure shear dengan arah dominan NE–SW, yang mengikuti pola Sumatra, serta NW–SE, yang mengikuti pola Meratus. Kedua arah ini termasuk dalam pola sesar F1–F1’ dan F2–F2’. Densitas kelurusan di Lampung yang lebih tinggi dibandingkan dengan di Jawa Bagian Barat mengindikasikan bahwa deformasi tektonik di wilayah Lampung lebih intensif. Hasil analisis geomorfometri menunjukkan bahwa di Sesar Semangko, sebesar 91,3% sub–DAS dengan kondisi tektonik aktif, dan 8,7% sub–DAS dengan kondisi tektonik sangat aktif. Sementara itu, pada Sesar Cimandiri sebesar 60,8% sub–DAS dengan kondisi tektonik sangat aktif dan 39,2% sub-DAS dengan kondisi tektonik aktif. Dengan demikian, tingkat tektonik sangat aktif di Sesar Cimandiri lebih tinggi dibandingkan dengan di Sesar Semangko. Selain itu sumbu terpanjang sub–DAS di Sesar Semangko dominan pada arah N31°–40°E (NE–SW), mengikuti pola struktur antitetik R?. Sementara itu, arah dominan sumbu terpanjang sub–DAS di Sesar Cimandiri adalah N101°–110°E, mengikuti pola struktur lipatan atau sesar naik di Jawa Bagian Barat. Hasil analisis inversi stres menunjukkan perbedaan rezim stres R’, Lampung memiliki rezim stres sesar mendatar, Selat Sunda menunjukkan rezim stres sesar transtensif, dan Jawa Bagian Barat memiliki tiga rezim stres yakni rezim stres sesar mendatar, sesar transpresif dan sesar naik. Pola stres juga menunjukkan perbedaan, SHmax dari Laut Selatan Lampung hingga Lampung mengalami perubahan orientasi dari NNE–SSW menjadi N–S, sedangkan SHmax dari laut selatan Jawa Bagian Barat adalah berarah N–S dan mengalami berubah orientasi menjadi NNE–SSW. Pembatas perbedaan pola stres tersebut adalah Selat Sunda. Hasil analisis kelurusan morfostruktural, geomorfometri, dan inversi stres membuktikan hipotesis pertama. Selain itu, interpolasi rezim stres R’ pada kedalaman 0–15 km, 15–33 km, dan 0–33 km membuktikan hipotesis kedua. Terlihat kemenerusan Sesar Semangko ke indentasi dalam rezim sesar transtensif dan kemenerusan Sesar Cimandiri dalam rezim stres sesar transtensif dan sesar mendatar. Hasil inversi stres pada kedalaman 0–15 km dan 15–33 km menggunakan metode grid dan zonasi menunjukkan bahwa zona selatan Jawa Bagian Barat dan selatan Lampung didominasi oleh rezim stres sesar naik dan sesar transpresif. Kondisi ini mencerminkan akumulasi stres yang tinggi, sehingga berpotensi menghasilkan gempa bumi besar di masa mendatang. Temuan ini juga mendukung hipotesis ketiga. Sesar aktif di Lampung sebagian besar berada pada zona Sesar Semangko dan Sesar Kumering, dengan orientasi dominan barat laut–tenggara (NW–SE), baik pada kedalaman 0–15 km maupun 15–33 km. Di Selat Sunda, sebagian besar sesar aktif terletak di Cekungan Selat Sunda Barat dan Tinggian Krakatau, dengan orientasi arah N–S dan NNW–SSE. Di Jawa Bagian Barat, sesar aktif meliputi Sesar Cimandiri Barat, Sesar Baribis, Sesar Garsela, Sesar Lembang, serta beberapa lokasi lainnya, dengan orientasi NE–SW dan NW–SE. Kebaruan penelitian ini terletak pada model struktur geologi, rezim stres R’, pola stres, zona potensi gempa bumi, dan sesar aktif di Lampung, Selat Sunda, Jawa Bagian Barat, serta perairan selatannya. Penelitian ini berkontribusi pada pemahaman komprehensif mengenai geologi transisi tektonik Lampung–Selat Sunda–Jawa Bagian Barat.