Realisasi sikap kepedulian terhadap pelestarian bumi diwujudkan oleh kawasan
Gunung Sewu dengan menjadi anggota UNESCO Global Geoparks. Satu dari
beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi anggota organisasi dunia
tersebut adalah syarat memiliki visibilitas teritorial yang terdiri dari enam jenis
penanda serta mencantumkan slogan dan logo geopark. Pembuatan sistem tanda
harus mengacu pula pada himbauan freedom of landscape yang mengarahkan agar
pemandangan alam spesifik dan mengagumkan dijauhkan dari penempatan panel
informasi yang berlebihan. Syarat tersebut harus dipenuhi oleh obyek wisata Watu
Payung yang menghadirkan hamparan awan saat dini hari dan jalur jelajah dari
hutan lindung pohon jati hingga berakhir di Sungai Oya. Obyek wisata ini terletak
di dalam Hutan Turunan, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul wilayah
barat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Watu Payung Hutan Turunan dengan
keragaman geologi, keragaman hayati dan keragaman budaya yang khas
merupakan bagian dari 32 geosite dan geoforest di kawasan karst Gunung Sewu
UNESCO Global Geopark.
Permasalahan timbul saat sistem tanda terpasang di Gunung Sewu UNESCO
Global Geopark bertolak belakang dari peran yang seharusnya mampu membangun
suasana khas kawasan konservasi. Tampilan sistem tanda terpasang lebih tepat
ditempatkan di kawasan atau bangunan komersial dan korporasi. Penggunaan
material industri berbiaya tinggi pada sistem tanda terpasang bertentangan dengan
butir-butir pasal pada Tujuan Pembangunan yang Berkelanjutan. Hal ini timbul
karena belum ada konsep dan perancangan sistem tanda yang dapat dijadikan
panduan oleh sebagian masyarakat setempat sebagai pengelola atraksi alam dalam
wilayah konservasi.
Pola empat pada falsafah budaya Jawa sedulur papat kalima pancer, kiblat papat
kalima pancer sebagai pedoman orientasi ruang dari Keraton Yogyakarta dan jalma
limpat seprapat tamat merupakan bagian dari keseharian masyarakat Daerah
Istimewa Yogyakarta. Pola ini menjadi sumber gagasan perumusan konteks kritis
ii
bagian terpenting dari Metode Practice-led Research. Metode penelitian
performatif dengan mengeksplorasi rancangan sebagai alternatif dari metodologi
penelitian kualitatif dan kuantitatif yang menghasilkan teori baru disertai suatu
karya. Konteks kritis penelitian ini menghasilkan tiga kelompok rumusan. Pertama,
rumusan menggunakan gagasan sedulur papat berisi empat kriteria pada sistem
tanda nuansa keragaman budaya (1) jenama dengan komponen warisan seni budaya
dan kriya lokal, (2) teknik menulis manual dan spontan pada jenama dan judul
penanda, (3) benda warisan seni, budaya dan kriya lokal sebagai bagian penanda,
(4) warisan seni, budaya dan kriya lokal tak benda. Kedua, rumusan gagasan kiblat
papat berisi empat nuansa keragaman geologi dan hayati sebagai kriteria fisik dan
lokasi sistem tanda (1) wilayah pengelolaan (2) peletakan terintegrasi jenis - jenis
penanda dengan mendekatkan atau menggabungkan, (3) strategi jangkauan
pengelola mempertimbangkan karakteristik kontur alam, jarak dan lokasi
penempatan sistem tanda, (4) mengoptimalkan pemanfaatan material alam dan
memanfaatkan sumber cahaya alami di bawah tanah, alam terbuka dan pesisir
pantai. Seluruh komponen melebur pada sistem tanda sebagai kalima pancer.
Penggunaan sistem tanda virtual imaterial sebagai gagasan jalma limpat sprapat
tamat dipergunakan sebagai media yang mengakomodasi kompleksitas dan
dinamika materi edukasi dikemas dalam perangkat kompak, ringkas dan interaktif
berbasis teknologi digital. Sepuluh kriteria pada gagasan konsep merancang sistem
tanda ini dinamakan Pancer Jalma. Irisan Model Metode Piramida Penanda sebagai
teori sistem tanda pendahulu dengan konsep ini didominasi oleh kriteria-kriteria
yang sejalan. Model Teori Semiotika digunakan untuk menganalisis makna dari
sistem tanda terpasang dan luaran karya dari praktik. Uji luaran karya terhadap
respons masyarakat dilakukan dengan cara diskusi kelompok terfokus,
menyebarkan angket dan pameran. Penanda terpasang dari zona publik dan di
dalam Watu Payung Hutan turunan dibandingkan dengan luaran karya dilakukan
analisa menggunakan sepuluh kriteria pada Konsep Pancer Jalma.
Hasilnya, sepuluh kriteria dari Konsep Pancer Jalma berkurang secara bertahap
mengikuti pergeseran yang dimulai dari zona geoforest/geosite bergerak ke zona
transisi hingga zona publik. Dengan demikian Konsep Pancer Jalma terbukti
menjawab permasalahan dan dapat dipakai sebagai konsep pedoman perancangan
sistem tanda di kawasan geopark. Selain memenuhi syarat fungsi, sistem tanda
memiliki konotasi konsisten dengan keragaman khas geopark dan lebih dalam lagi
menyiratkan nilai sejarah serta penggunaan material terbarukan.