digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Diah Natarina [37019004]
PUBLIC Open In Flip Book Noor Pujiati.,S.Sos

Realisasi sikap kepedulian terhadap pelestarian bumi diwujudkan oleh kawasan Gunung Sewu dengan menjadi anggota UNESCO Global Geoparks. Satu dari beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi anggota organisasi dunia tersebut adalah syarat memiliki visibilitas teritorial yang terdiri dari enam jenis penanda serta mencantumkan slogan dan logo geopark. Pembuatan sistem tanda harus mengacu pula pada himbauan freedom of landscape yang mengarahkan agar pemandangan alam spesifik dan mengagumkan dijauhkan dari penempatan panel informasi yang berlebihan. Syarat tersebut harus dipenuhi oleh obyek wisata Watu Payung yang menghadirkan hamparan awan saat dini hari dan jalur jelajah dari hutan lindung pohon jati hingga berakhir di Sungai Oya. Obyek wisata ini terletak di dalam Hutan Turunan, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul wilayah barat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Watu Payung Hutan Turunan dengan keragaman geologi, keragaman hayati dan keragaman budaya yang khas merupakan bagian dari 32 geosite dan geoforest di kawasan karst Gunung Sewu UNESCO Global Geopark. Permasalahan timbul saat sistem tanda terpasang di Gunung Sewu UNESCO Global Geopark bertolak belakang dari peran yang seharusnya mampu membangun suasana khas kawasan konservasi. Tampilan sistem tanda terpasang lebih tepat ditempatkan di kawasan atau bangunan komersial dan korporasi. Penggunaan material industri berbiaya tinggi pada sistem tanda terpasang bertentangan dengan butir-butir pasal pada Tujuan Pembangunan yang Berkelanjutan. Hal ini timbul karena belum ada konsep dan perancangan sistem tanda yang dapat dijadikan panduan oleh sebagian masyarakat setempat sebagai pengelola atraksi alam dalam wilayah konservasi. Pola empat pada falsafah budaya Jawa sedulur papat kalima pancer, kiblat papat kalima pancer sebagai pedoman orientasi ruang dari Keraton Yogyakarta dan jalma limpat seprapat tamat merupakan bagian dari keseharian masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Pola ini menjadi sumber gagasan perumusan konteks kritis ii bagian terpenting dari Metode Practice-led Research. Metode penelitian performatif dengan mengeksplorasi rancangan sebagai alternatif dari metodologi penelitian kualitatif dan kuantitatif yang menghasilkan teori baru disertai suatu karya. Konteks kritis penelitian ini menghasilkan tiga kelompok rumusan. Pertama, rumusan menggunakan gagasan sedulur papat berisi empat kriteria pada sistem tanda nuansa keragaman budaya (1) jenama dengan komponen warisan seni budaya dan kriya lokal, (2) teknik menulis manual dan spontan pada jenama dan judul penanda, (3) benda warisan seni, budaya dan kriya lokal sebagai bagian penanda, (4) warisan seni, budaya dan kriya lokal tak benda. Kedua, rumusan gagasan kiblat papat berisi empat nuansa keragaman geologi dan hayati sebagai kriteria fisik dan lokasi sistem tanda (1) wilayah pengelolaan (2) peletakan terintegrasi jenis - jenis penanda dengan mendekatkan atau menggabungkan, (3) strategi jangkauan pengelola mempertimbangkan karakteristik kontur alam, jarak dan lokasi penempatan sistem tanda, (4) mengoptimalkan pemanfaatan material alam dan memanfaatkan sumber cahaya alami di bawah tanah, alam terbuka dan pesisir pantai. Seluruh komponen melebur pada sistem tanda sebagai kalima pancer. Penggunaan sistem tanda virtual imaterial sebagai gagasan jalma limpat sprapat tamat dipergunakan sebagai media yang mengakomodasi kompleksitas dan dinamika materi edukasi dikemas dalam perangkat kompak, ringkas dan interaktif berbasis teknologi digital. Sepuluh kriteria pada gagasan konsep merancang sistem tanda ini dinamakan Pancer Jalma. Irisan Model Metode Piramida Penanda sebagai teori sistem tanda pendahulu dengan konsep ini didominasi oleh kriteria-kriteria yang sejalan. Model Teori Semiotika digunakan untuk menganalisis makna dari sistem tanda terpasang dan luaran karya dari praktik. Uji luaran karya terhadap respons masyarakat dilakukan dengan cara diskusi kelompok terfokus, menyebarkan angket dan pameran. Penanda terpasang dari zona publik dan di dalam Watu Payung Hutan turunan dibandingkan dengan luaran karya dilakukan analisa menggunakan sepuluh kriteria pada Konsep Pancer Jalma. Hasilnya, sepuluh kriteria dari Konsep Pancer Jalma berkurang secara bertahap mengikuti pergeseran yang dimulai dari zona geoforest/geosite bergerak ke zona transisi hingga zona publik. Dengan demikian Konsep Pancer Jalma terbukti menjawab permasalahan dan dapat dipakai sebagai konsep pedoman perancangan sistem tanda di kawasan geopark. Selain memenuhi syarat fungsi, sistem tanda memiliki konotasi konsisten dengan keragaman khas geopark dan lebih dalam lagi menyiratkan nilai sejarah serta penggunaan material terbarukan.