Emisi CO2 merupakan emisi yang paling dominan dari Gas Rumah Kaca (GRK).
Penerapan biomass co-firing menjadi salah satu cara yang dipilih untuk mengurangi
emisi CO2. PLTU yang ditinjau dalam penelitian ini adalah sebuah PLTU di
Padang, Sumatra Barat (2 x 112 MW) yang berjarak 350 km dari sumber biomassa
di Kampar, Riau. PLTU ini berteknologi Circulating Fluidized Bed. Kelayakan dari
segi teknologi mencakup analisis kinerja teknologi pada penerapan biomass cofiring
untuk teknologi yang dioperasikan pada saat ini dan modifikasinya dengan
rentang biomassa yang digunakan antara 0,5-2%-massa dari total bahan bakar.
Bahan bakar biomassa yang akan dikaji adalah pelet kayu pada harga 66 USD/ton
sedangkan harga batubara mengikuti harga DMO 70 USD/ton. Emisi dihitung
dengan merujuk pada ketentuan dalam Pedoman Penyelenggaraan dan Pelaporan
Inventarisasi Gas Rumah Kaca Bidang Energi Sub Bidang Ketenagalistrikan
dengan IPCC Guideline 2006 sebagai dasarnya.
Penerapan biomass co-firing dapat menurunkan Emisi CO2 dari 1,925 Juta
Ton/tahun menjadi 1,903 Juta ton/tahun. Kemudian menurunkan emisi SOx dan
NOx dari 136 dan 311 mg/Nm3 menjadi 133 dan 307 mg/Nm3, sembari
meningkatkan PM10 dari 11,5 mg/Nm3 menjadi 15,4 mg/Nm3. Namun demikian,
emisi SOx, NOx dan PM10 tersebut masih berada dibawah ambang batas berturutturut
550, 550, dan 100 mg/Nm3. Net Present Value (NPV) akan bernilai positif
pada penerapan biomass co-firing rasio biomassa 2%-massa sebesar 7.781 USD
dengan menggunakan discount rate 6,75% pada rentang 10 tahun operasi. Internal
Rate of Return (IRR) pada rasio biomassa 0,5–2%-massa berturut-turut 2,15%,
4,44%, 6,37%, dan 9,13%. Nilai IRR maksimal pada fasilitas PLTU pada pedoman
PLN adalah 11%. Levelized Cost of Electricity (LCoE) dari penerapan biomass cofiring
sebesar 101 USD/MWh untuk PLTU 2 x 112 MW dimana saat ini tarif listrik
di Indonesia adalah Rp 1.500/kWh atau 94 USD/MWh.