Indonesia sebagai negara tropis, mengalami peningkatan suhu akibat perubahan
iklim. Pekerja luar ruangan yang terpapar suhu panas dalam jangka waktu yang
lama dan tanpa perlindungan sangat rentan terhadap penyakit yang berhungan
dengan panas seperti kelelahan dan gejala heat strain. Kota semarang sebagai salah
satu daerah tropis yang terletak di area pesisir memiliki suhu lingkungan yang
tinggi menyebabkan kerentanan terhadap pekerja akibat kondisi kerja yang tidak
terlindungi. Penelitian ini mengeksplorasi Profil risiko kelelahan kerja dan gejala
heat strain di antara 120 pekerja luar ruangan di Semarang, termasuk pedagang kaki
lima, tukang becak, pekerja konstruksi, dan petugas parkir. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah mengukur iklim kerja dengan menggunakan Wet Bulb
Globe Temperature (WBGT), sementara heat strain dievaluasi dengan
Physiological Strain Index (PSI) berdasarkan suhu tubuh dan detak jantung
sebelum dan setelah bekerja, kemudian tekanan darah akan diukur apakah terdapat
perbedaan nilai yang signifikan. Kelelahan kerja dinilai melalui uji waktu reaksi
dan kuisioner Subjective Self Rating Test (SSRT) dari IRFC, dan kuesioner High
Occupational Temperature Health and Productivity Suppression (HOTHAPS)
digunakan untuk menganalisis persepsi dan perilaku pencegahan pekerja. Analisis
statistik dilakukan dengan menggunakan software R-Studio. Statistik deskriptif
digunakan untuk menghitung rata-rata ± standar deviasi untuk setiap variabel. Uji
Shapiro-Wilk digunakan untuk menilai normalitas data (nilai p <0,05 menunjukkan
distribusi yang tidak normal). Uji Kruskal-Wallis dan post-hoc dilakukan pada data
yang tidak berdistribusi normal untuk mengidentifikasi perbedaan yang signifikan
di seluruh jenis pekerjaan. Hubungan antara karakteristik individu terhadap
kelelahan kerja dan gejala heat strain dianalisis menggunakan regresi kuantil.
Sementara, untuk hubungan antara iklim kerja panas terhadap kelelahan kerja dan
gejala heat strain dianalisis menggunakan regresi linier berganda, serta perilaku
pencegahan sebagai mediator pada hubungan antara iklim kerja dan gejala heat
strain dianalisis menggunakan analisis mediasi. Penelitian ini menemukan bahwa
usia memiliki pengaruh signifikan terhadap peningkatan kinerja psikomotorik (??= 0,005 dan LB?= 0.004, LB?= 0.006) dan peningkatan kelelahan mental (??= 0,115
dan LB?= -0,124, LB?= 0.057), untuk gejala heat strain dipengaruhi oleh usia (??=
0,029 dan LB?= 0.010, LB?= 0.052) dan IMT (??= 0,208 dan LB?= 0.009, LB?=
0.770), sementara karakteristik individu lainnya tidak memberikan pengaruh
signifikan terhadap kelelahan dan gejala heat strain. Iklim kerja berpengaruh
signifikan terhadap kinerja psikomotorik (?= 0.191 dan p= 0.000). Untuk kelelahan
mental, iklim kerja buruk juga berpengaruh signifikan (?= 5.097 dan p= 0.000).
Iklim kerja memiliki pengaruh signifikan terhadap gejala heat strain (?= 1.345 dan
p= 0.000). Analisis moderasi menunjukkan usia (p = 0,002) dan masa kerja (p =
0,002) mempengaruhi hubungan antara iklim panas dan kinerja psikomotorik.
Namun, pada kelelahan mental dan gejala heat strain, hanya masa kerja (p = 0,05)
yang hampir signifikan, sedangkan faktor lainnya tidak memoderasi hubungan
tersebut. Hubungan antara iklim kerja dan gejala heat strain melalui mediator
perilaku pencegahan menunjukkan bahwa perilaku pencegahan tidak berpengaruh
secara signifikan (?= 0.011 dan p= 0.650) sebagai mediator yang dapat berpengaruh
terhadap penurunan gejala heat strain, faktor lain yang tidak dianalisis dalam
penelitian ini mungkin lebih relevan. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan
bahwa karakteristik individu usia dan indeks massa tubuh (IMT) secara signifikan
memengaruhi kinerja psikomotorik dan tekanan panas. Iklim kerja panas
meningkatkan kinerja psikomotorik, kelelahan mental, dan gejala heat strain,
dengan efektivitas perilaku pencegahan yang terbatas dalam mitigasi.