Biodiesel adalah bahan bakar serbaguna yang dapat menggantikan diesel
konvensional tanpa memerlukan modifikasi signifikan pada mesin, menjadikannya pilihan
praktis untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Biodiesel dari minyak
goreng bekas (UCO) diproduksi melalui transesterifikasi dengan katalis NaOH dan etanol,
yang melibatkan tiga reaksi reversibel: trigliserida menjadi digliserida, digliserida menjadi
monogliserida, dan monogliserida menjadi gliserol, dengan setiap langkah menghasilkan satu
molekul ester. Sampel dari lima restoran di Kota Bandung, yaitu restoran yang menjual daging
goreng, Warteg di Dipatiukur, restoran Jepang, restoran Sunda, dan restoran Padang, diuji
untuk kualitas biodiesel sesuai dengan standar SNI 7281-2015, dengan menilai FFA, densitas,
kadar air, viskositas, dan tingkat asam. Kandungan FFA di bawah 2%, dan densitas berkisar
antara 0,85 hingga 0,89 g/ml, keduanya memenuhi standar. Kadar air kurang dari 0,05 g, juga
sesuai dengan SNI 7281-2015. Hanya sampel dari Warteg dan restoran masakan Sunda yang
memenuhi standar viskositas, sementara semua sampel memenuhi standar tingkat asam. Dalam
hal kuantitas, restoran yang menjual daging goreng menghasilkan biodiesel terbanyak dari 200
ml minyak goreng bekas. Mendorong restoran di Bandung, terutama yang menyajikan daging
goreng, untuk mengubah minyak goreng bekas menjadi biodiesel dapat secara efektif
mengurangi limbah berbahaya. Dari aspek ekonomi, produksi minyak goreng bekas di Kota
Bandung diperkirakan mencapai 20.426,36 liter per minggu, yang dapat diubah menjadi sekitar
17.362,406 liter biodiesel dan 6.127,908 liter gliserol. Biodiesel dan gliserol mentah ini
kemudian dapat dijual, menghasilkan potensi keuntungan dengan ROI sebesar 10,6% dan
memiliki periode pengembalian investasi dalam waktu 18 bulan.