digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Rosi Hanif Damayanti
PUBLIC Rita Nurainni, S.I.Pus

Model prediksi Sub-Seasonal to Seasonal (S2S) telah dikembangkan tetapi belum dijalankan secara operasional oleh National Hydrometeorological Services (NHMS) di seluruh dunia karena keterbatasan sk prediksi. Namun demikian, belum ada evaluasi komprehensif terhadap prediksi curah hujan S2S di Indonesia. Dalam penelitian ini, skill model prediksi S2S ECMWF (European Centre for MediumRange Weather Forecasts) di Indonesia dievaluasi menggunakan tiga metrik yang umum digunakan, yaitu Root Mean Squared Error (RMSE), bias, dan korelasi, dengan data National Centers for Environmental Prediction- National Center for Atmospheric Research (NCEP-NCAR) Reanalysis I sebagai representasi observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa evolusi skill prediksi curah hujan serta angin 850 hPa di Indonesia menurun tajam pada minggu kedua. Meskipun hasilnya konsisten dengan domain global dan tropis secara keseluruhan, ditemukan juga bahwa skill prediksi menunjukkan ketergantungan yang kuat pada variasi musiman dan variabel tertentu dengan prediktabilitas angin zonal 850 hPa yang lebih tinggi selama periode Maret-April-Mei (MAM) dan Juni-Juli-Agustus (JJA). Di sisi lain, skill prediksi angin meridional 850 hPa menunjukkan skill yang lebih tinggi selama MAM dan September-Oktober-November (SON), sementara skill prediksi curah hujan lebih baik dibandingkan lainnya selama Desember-Januari-Februari (DJF). Pemeriksaan lebih lanjut terhadap angin 850 hPa dan curah hujan sebagai sumber potensial prediktabilitas dilakukan dengan menghilangkan komponen musiman dan menerapkan analisis Empirical Orthogonal Function (EOF) pada data. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada pola dominan tunggal dalam variabilitas curah hujan S2S. Namun demikian, beberapa EOF terbesar dianalisis lebih detail. Analisis lagcorrelation antara Principal Component (PC) curah hujan dan angin 850 hPa menunjukkan bahwa Madden-Julian Oscillation (MJO) yang bergerak ke timur, serta gelombang Equatorial Rossby yang bergerak ke barat, mungkin menjadi sumber prediktabilitas S2S. Selain itu, persentase terbesar dari curah hujan EOF terkait dengan propagasi MJO ke arah timur. Studi kasus peristiwa curah hujan pada 27 Mei hingga 14 Juli 2015 menunjukkan bahwa angin zonal 850 hPa merupakan prediktor yang paling relevan untuk pola curah hujan, tetapi prediktabilitas angin zonal ditemukan lemah selama periode MJO aktif. Studi kasus lain terkait peristiwa hujan lebat pada 29 Januari 2020 menunjukkan pengaruh propagasi gelombang Equatorial Rossby (ER) ke barat. Dalam kasus ini, curah hujan tampak menjadi prediktor terbaik untuk gelombang ER yang memiliki bilangan gelombang tinggi. Namun, prediktabilitas gelombang ER juga lemah di sekitar waktu peristiwa konvektif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prediksi curah hujan S2S di Indonesia masih merupakan tantangan yang signifikan. Seperti yang ditemukan dalam studi sebelumnya, penelitian ini mengkonfirmasi bahwa variabilitas curah hujan S2S terbesar dipengaruhi oleh fenomena MJO. Selain itu, peristiwa konvektif yang lebih sporadis dapat dikaitkan dengan propagasi gelombang ER yang memiliki bilangan gelombang tinggi. Dalam kedua kasus tersebut, skill model prediksi S2S masih terbatas dalam merepresentasikan propagasi gelombang MJO dan ER selama fase konvektif aktif. Oleh karena itu, penerapan prediksi S2S di Indonesia mungkin memerlukan pemrosesan lanjutan yang lebih canggih dari keluaran model untuk meningkatkan akurasi dan skill-nya. Penelitian ini berfokus pada skill deterministik dan belum membahas skill probabilistik dari prediksi S2S.