Fenomena kekeringan yang berkembang progresif, dikenal sebagai flash drought
sering kali tidak terdeteksi oleh sistem pemantauan dan peringatan dini. Berbagai
metode identifikasi dikembangkan dengan tujuan mengurangi risiko dan
menangkap fitur khusus yang membedakan fenomena ini dari kekeringan
konvensional. Namun, ketiadaan definisi kuantitatif yang berlaku universal
menyebabkan ketidakpastian hasil identifikasi flash drought pada kajian terdahulu.
Frekuensi, distribusi, dan intensitas flash drought cenderung bervariasi bergantung
metode, kriteria, dan indikator yang digunakan dalam identifikasi. Kajian global
berbasis penurunan persentil kelembapan tanah mengidentifikasi Benua Maritim
Indonesia (BMI) sebagai hotspot flash drought. Namun, hal ini belum terkonfirmasi
karena keterbatasan data observasi dan penggunaan kriteria yang didasarkan pada
hasil studi di wilayah lintang menengah dan subtropis.
Kajian ini mengidentifikasi flash drought melalui modifikasi metode penurunan
persentil kelembapan tanah, dengan penyesuaian kriteria laju intensifikasi untuk
kawasan tropis berdasarkan hasil uji sensitivitas. Distribusi spasio-temporal
intensitas flash drought mempertimbangkan komponen laju intensifikasi dan
tingkat keparahan kekeringan sebagai fitur utama flash drought. Hasil analisis
menunjukkan bahwa variasi kriteria laju intensifikasi berpengaruh signifikan
terhadap frekuensi kejadian flash drought, dengan BMI terdeteksi sebagai hotspot
global disebabkan karena penggunaan kriteria yang terlalu sensitif. Flash drought
di Indonesia umumnya terbentuk dalam 1-2 pentad, dengan area hotspot yang
bervariasi secara musiman. Intensitas kejadian cenderung tinggi sepanjang tahun di
Provinsi Papua Tengah dan Papua Selatan, mencerminkan periode intensifikasi
cepat sebagai karakteristik klimatologi wilayah tersebut.