digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Putri Wulandari
PUBLIC Rita Nurainni, S.I.Pus

Fenomena kekeringan yang berkembang progresif, dikenal sebagai flash drought sering kali tidak terdeteksi oleh sistem pemantauan dan peringatan dini. Berbagai metode identifikasi dikembangkan dengan tujuan mengurangi risiko dan menangkap fitur khusus yang membedakan fenomena ini dari kekeringan konvensional. Namun, ketiadaan definisi kuantitatif yang berlaku universal menyebabkan ketidakpastian hasil identifikasi flash drought pada kajian terdahulu. Frekuensi, distribusi, dan intensitas flash drought cenderung bervariasi bergantung metode, kriteria, dan indikator yang digunakan dalam identifikasi. Kajian global berbasis penurunan persentil kelembapan tanah mengidentifikasi Benua Maritim Indonesia (BMI) sebagai hotspot flash drought. Namun, hal ini belum terkonfirmasi karena keterbatasan data observasi dan penggunaan kriteria yang didasarkan pada hasil studi di wilayah lintang menengah dan subtropis. Kajian ini mengidentifikasi flash drought melalui modifikasi metode penurunan persentil kelembapan tanah, dengan penyesuaian kriteria laju intensifikasi untuk kawasan tropis berdasarkan hasil uji sensitivitas. Distribusi spasio-temporal intensitas flash drought mempertimbangkan komponen laju intensifikasi dan tingkat keparahan kekeringan sebagai fitur utama flash drought. Hasil analisis menunjukkan bahwa variasi kriteria laju intensifikasi berpengaruh signifikan terhadap frekuensi kejadian flash drought, dengan BMI terdeteksi sebagai hotspot global disebabkan karena penggunaan kriteria yang terlalu sensitif. Flash drought di Indonesia umumnya terbentuk dalam 1-2 pentad, dengan area hotspot yang bervariasi secara musiman. Intensitas kejadian cenderung tinggi sepanjang tahun di Provinsi Papua Tengah dan Papua Selatan, mencerminkan periode intensifikasi cepat sebagai karakteristik klimatologi wilayah tersebut.