Fenomena sea snot atau marine mucilage dilaporkan muncul pada Teluk Bima, Nusa Tenggara
Barat. Kejadian ini merupakan yang pertama kali terjadi di Indonesia. Kejadian ini
menyebabkan terhentinya aktivitas masyarakat di wilayah Teluk Bima sehingga menimbulkan
kerugian ekonomi. Kawasan Teluk Bima mengalami perkembangan pesat seiring dengan
konsep pembangunan Kota Bima sebagai “Kota Tepian Air”. Konsep ini akan meningkatkan
aktivitas di kawasan pesisir Teluk Bima dan menyebabkan peningkatan penggunaan lahan,
sehingga berdampak pada kualitas dan ekosistem perairan pesisir. Kecenderungan peningkatan
aktivitas manusia didorong oleh peningkatan jumlah penduduk dan konsumsi per kapita
sehingga mendorong terjadinya perubahan kualitas lingkungan. Selain itu, meningkatnya
aktivitas ekonomi juga menyebabkan perubahan tata guna lahan yang sangat massif, khususnya
untuk pertanian. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya akumulasi polutan dari berbagai
aktivitas antropogenik melalui limpasan air hujan dan muara aliran sungai yang nantinya akan
masuk ke Teluk Bima. Perubahan iklim turut berperan dalam pembentukan sea snot. Selain itu,
berdasarkan kondisi geografis, Teluk Bima dapat dikatakan rentan dan berpotensi kembali
mengalami fenomena sea snot.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis terhadap besaran beban polutan parameter
total nitrogen (TN) dan total fosfor (TP) dari berbagai sumber yang masuk ke Teluk Bima,
menghitung daya tampung beban pencemar pada Teluk Bima, serta mengkaji apakah beban
pada Teluk Bima telah atau tidak melewati daya tampungnya. Selain itu, dilakukan juga
pengembangan konspetualisasi model untuk permasalahan sea snot pada Teluk Bima.
Analisis data pada penelitian ini terdiri dari beberapa tahap. Tahap pertama berupa analisis
kualitas air pada Teluk Bima. tahap kedua yaitu analisis data hidrologi berupa data hujan untuk
mengidentifikasi karakteristik hujan pada wilayah studi. Tahap ketiga meliputi penggunaan
sistem informasi geografis (SIG) untuk analisis penggunaan lahan, volume, dan luas teluk.
Tahap keempat adalah analisis koefisien limpasan permukaan pada 12 daerah aliran sungai
(DAS) yang bermuara ke Teluk Bima. Tahap kelima melakukan pemodelan sistem dinamik
yang mencakup 6 submodel; beban polutan dari penggunaan lahan DAS, beban polutan limbah
peternakan, domestik, perikanan, total beban pada Teluk Bima, dan daya tampung beban
pencemar Teluk Bima. Model divalidasi menggunakan uji statistik berupa Root Mean Square
Error (RMSE). Tahap selanjutnya berupa pengembangan konseptualisasi terhadap model sebelumnya terkait permasalahan sea snot Teluk Bima dengan mempertimbangkan faktorfaktor lain, tidak hanya masukan beban polutan
Hasil pemantauan kualitas air Teluk Bima menunjukkan bahwa terdapat beberapa parameter
yang melampaui baku mutu air laut, termasuk TN dan TP. Karakteristik hujan wilayah studi
termasuk dalam tipe hujan monsoon dengan curah hujan rendah (0 – 100 mm/bulan).
Penggunaan lahan pada 12 DAS sekitar Teluk Bima terbagi menjadi 6 kelompok; residensial,
komersial, lahan terbuka, pertanian, perikanan, dan hutan, dengan lahan terluas adalah lahan
terbuka. Koefisien limpasan permukaan pada 12 DAS berada pada kisaran 0,2 – 0,5, dengan
nilai tertinggi terdapat pada DAS Panda senilai 0,5. Beban polutan yang paling berkontribusi
berdasarkan besarannya adalah beban dari penggunaan lahan DAS. Hal ini karena beban
tersebut dipengaruhi oleh limpasan permukaan dari tiap-tiap DAS sehingga dipengaruhi juga
oleh hujan. Selanjutnya yaitu beban dari limbah domestik, peternakan, dan terakhir perikanan.
Beban TN dan TP pada Teluk Bima telah melewati daya tampungnya, dan kondisi Teluk Bima
sudah masuk pada tahap hipereutrofik. Nilai validasi model untuk parameter TN adalah 0,1042,
sedangkan untuk TP 0,0095. Hasil menunjukkan bahwa model memiliki performa yang baik.
Pengembangan konseptualisasi model dilakukan dengan mempertimbangkan faktor iklim,
pemanasan global, hidrodinamika, beban polutan, dan siklus N dan P di perairan.
Melalui penelitian ini, diperoleh informasi bahwa daya tampung beban pencemar Teluk Bima
sudah terlampaui dan Teluk mengalami eutrofikasi. Penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk
pembuatan kebijakan khususnya terkait pengelolaan nutrien pada Teluk Bima. Selain itu,
pengembangan konseptualisasi model juga dapat digunakan sebagai acuan untuk pembuatan
model sea snot untuk penelitian selanjutnya