digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK - Khoirunnisa Aprilia S
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan

Adanya peningkatan kebutuhan individu untuk memperbaiki penampilan menyebabkan kosmetik menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Namun, banyak produsen produk skin care menggunakan surfaktan kimia sebagai bahan formulasinya, terutama sebagai pengemulsi dan foaming agent. Beberapa produk ini dilaporkan dapat mengubah flora kulit, serta menyebabkan reaksi alergi dan iritasi kulit. Biosurfaktan merupakan senyawa alami yang memiliki beberapa keunggulan dibandingkan surfaktan sintetik, seperti berasal dari sumber daya terbarukan, toksisitas rendah, kompatibiltas dengan kulit manusia, fungsinya sebagai pengemulsi, mampu menurunkan tegangan permukaan, dan foaming yang penting dalam formulasi kosmetik. Aktivitas anti-mikroba, anti-adhesive, anti-fungal, dan anti-virus dari biosurfaktan juga menjadikan penggunaannya sangat menarik untuk aplikasi kosmetik dan personal care. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kandidat isolat penghasil biosurfaktan yang berpotensi menjadi pengganti surfaktan kimia beserta kemampuan antimikrobanya. Penelitian diawali dengan mengkarakterisasi isolat bakteri sumur minyak secara makroskopis, mikroskopis, dan sekuensing 16s rRNA. Kemudian, dilakukan screening kemampuan isolat untuk menghasilkan biosurfaktan dengan uji oil spreading dan emulsifikasi. Biosurfaktan terpilih diuji kemampuan antimikrobanya terhadap mikroba representasi spesies penyebab infeksi kulit, yaitu S. aureus, P. aeruginosa, E. coli, C. albicans, dan A. brasiliensis dengan microdilution, kemudian dipilih satu biosurfaktan berdasarkan nilai persentase penghambatan pertumbuhan terbaik. Selanjutnya, dilakukan uji muatan ionik biosurfaktan, pembuatan kurva produksi dan critical micelle concentration (CMC) biosurfaktan, serta analisis sudut kontak biosurfaktan. Setelah itu, biosurfaktan dikarakterisasi dengan analisis FTIR dan LC-MS untuk mengetahui jenis dan penyusunnya. Berdasarkan screening dengan uji oil spreading menggunakan kultur bakteri diperoleh 7 isolat yang menunjukkan terbentuknya zona bening sebagai indikasi dihasilkannya biosurfaktan. Dari ketujuh isolat tersebut, kemudian dipilih 3 isolat yang menghasilkan emlusifikasi tertinggi, yaitu III2-1 (70,9%); I7K1 (63,92%); dan III0-3 (63,29%) untuk dilihat aktivitas antimikrobanya. Berdasarkan uji kemampuan antimikrobanya, hanya terpilih biosurfaktan I7K1 yang menujukkan aktivitas penghambatan pertumbuhan terhadap S. aureus (17,75%) dan A. brasiliensis (8,40%) pada MIC 1000 ppm, P. aeruginosa (14,93%) pada MIC 500 ppm, serta E. coli (13,32%) dan C. albicans (51,57%) pada MIC 125 ppm. Pada kurva produksi dan CMC biosurfaktan, dihasilkan berat kering biosurfaktan tertinggi pada jam ke-18 sebesar 0,1086 g/L dan nilai CMC sebesar 0,1 g/L. Pada analisis sudut kontak, terjadi peningkatan hidrofobisitas substrat (kaca objek) setelah perlakuan dengan biosurfaktan I7K1, ditandai dengan sudut kontak perlakuan biosurfaktan >15,55o (sudut kontak kontrol negatif tanpa perlakuan). Dengan demikian, isolat I7K1 dapat menghasilkan biosurfaktan yang berpotensi sebagai antimikroba terhadap spesies representasi penyebab infeksi kulit.