digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK_Michael Isnaeni Djiamantoro
PUBLIC Open In Flip Book Perpustakaan Prodi Arsitektur

Perkembangan diskursus pelestarian cagar budaya menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma cagar budaya. Pergeseran paradigma pelestarian pertama yakni mengenai perkembangan pemahaman objek cagar budaya dari objek teraga menjadi melingkupi objek tak teraga. Awal mulanya, pelestarian cagar budaya hanya mengidentifikasi objek teraga sebagai warisan budaya dunia yang perlu dilestarikan. Namun dengan perkembangan diskursus warisan budaya, dunia mengakui adanya objek tak teraga sebagai bagian dari warisan budaya di masyarakat. Salah satu objek tak teraga tersebut berupa lingkungan sonik yang hadir pada pertunjukkan seni, kebudayaan, aktivitas ataupun di kawasan bersejarah. Namun pembahasan perlindungan lingkungan sonik, terutama di kawasan cagar budaya belum banyak dibahas secara mendalam. Selain itu, pergeseran paradigma pelestarian cagar budaya juga melingkupi penilaian signifikansi objek cagar budaya. Signifikansi objek cagar budaya awalnya dinilai berdasarkan objek fisik yang ada. Sekarang ini penilaian signifikansi objek cagar budaya lebih ditekankan pada nilai yang terkandung di dalamnya. Terutama untuk masyarakat Timur, dimana lebih menghargai nilai-nilai kualitas imaterial yang ada di dalam objek tersebut. Protokol Hoi-An sebagai panduan untuk konservasi di kawasan Asia sudah menyatakan bahwa bunyi merupakan salah satu elemen dari pembentuk dimensi kualitas imateri di masyarakat Timur. Namun penjelasan mengenai pengaruh bunyi dalam menentukan dimensi kualitas imateri ini belum seluruhnya dipahami. Pergeseran paradigma pelestarian cagar budaya lainnya yaitu terkait dengan penentuan autentisitas di kawasan bersejarah perkotaan. Diskursus konservasi selalu melibatkan aspek autentisitas untuk menentukan nilai yang signifikan dalam objek cagar budaya. Selama ini autentisitas ini selalu dikaitkan dengan objek fisiknya. Namun belakangan ini, autentisitas dapat diperoleh juga melalui interaksi pengalaman pengguna dengan objek cagar budaya. Pergeseran paradigma pelestarian cagar budaya ini menempatkan pengalaman multi indra ini juga menjadi sebuah diskursus terbaru di kawasan cagar budaya. Autentisitas berdasarkan pengalaman ini tidak hanya menekankan pada indra visual semata tetapi juga melibatkan indra lainnya. Hal ini yang akan menentukan keaslian dari objek cagar budaya. Oleh karena itu, penelitian disertasi ini mengangkat gagasan lanskap bunyi dalam memperkaya diskursus pelestarian kawasan cagaar budaya. Lanskap bunyi merupakan sebuah pendekatan yang mengkaji persepsi manusia berdasarkan lingkungan sonik yang ada pada suatu konteks. Penelitian ini merupakan penelitian lintas bidang ilmu yang baru berkembang dalam dua dekade terakhir ini. Pendekatan ini dipilih untuk mengungkapkan kedudukan dan pengaruh suara sebagai bagian dari kualitas imateri dalam menentukan autentisitas di kawasan cagar budaya. Penelitian disertasi ini termasuk dalam paradigma penelitian pragmatis. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode campuran dalam beberapa tahapan penelitian. Banyak strategi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini: soundwalk, penelitian sejarah melalui studi literatur, wawancara dengan para ahli, penelusuran sumber visual dan audio visual, simulasi lingkungan sonik dan pengumpulan data persepsi melalui kuesioner. Data tersebut kemudian dianalisis menggunakan analisis kualitiatif, analisis data teks dan analisis statistik untuk mencapai sasaran dan tujuan penelitian untuk menjawab persoalan yang diangkat dalam disertasi ini. Gagasan lanskap bunyi pada kawasan cagar budaya ini mengambil kasus pada kawasan Kota Tua, Jakarta. Kawasan Kota Tua Jakarta merupakan kawasan cagar budaya di tingkat propinsi, karena memiliki nilai signifikansi bagi kota Jakarta sejak tahun 1974 dan bagi Indonesia secara keseluruhan. Berbagai usaha peningkatan kualitas arsitektur baik secara bangunan maupun lingkungan secara keseluruhan telah dilakukan untuk mempertahankan karakteristik daerah ini sebagai kawasan bersejarah perkotaan. Kawasan bersejarah Kota Tua Jakarta ini juga sering menjadi panduan untuk praktik konservasi di kawasan bersejarah lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa indra pendengaran memiliki pengaruh yang signifikan dalam membentuk persepsi kualitas di lingkungan cagar budaya. Berdasarkan temuan penelitian ini, juga dapat diketahui dimensi – dimensi indra pendengaran yang perlu diatur untuk meningkatkan kualitas kawasan bersejarah. Selain itu, hasil dari penelitian disertasi ini merumuskan model lingkungan sonik yang sesuai untuk kawasan Kota Tua Jakarta. Elemen sumber bunyi yang dirumuskan dalam penelitian ini dapat memberikan karakter unik kepada pengalaman masyarakat di kawasan bersejarah perkotaan. Penelitian ini juga menghasilkan panduan metode terbaru yang dapat digunakan untuk menyelidiki nilai signifikansi dan elemen lingkungan sonik di kawasan cagar budaya. Penelitian disertasi ini merupakan penelitian garda depan untuk mendudukkan peranan indra pendengaran dalam memahami kualitas arsitektur, khususnya pada kawasan cagar budaya. Hasil kesimpulan dari penelitian disertasi membuka diskursus baru terkait dengan pengalaman orang dalam berinteraksi dengan karya arsitektur dan kawasan cagar budaya. Penelitian disertasi ini akan meningkatkan apresiasi terhadap arsitektur dan kawasan cagar budaya lebih dari hanya sekedar berdasarkan indra visual.