Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Kalimantan Tengah, khususnya di Kota
Palangka Raya, telah mempengaruhi kualitas udara di daerah sekitarnya. Salah satu
dampak dari kebakaran hutan dan lahan adalah timbulnya kabut asap yang
kemudian mempengaruhi penurunan kualitas udara di Kota Palangka Raya menjadi
status tidak sehat dan berbahaya. Tercatat bahwa polusi udara partikulat PM2.5 kota
Palangkaraya, mencapai 20 kali ambang batas yang ditetapkan Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Parameter meteorologi, seperti suhu
udara, kelembaban relatif, kecepatan angin, mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap difusi cepat, pengenceran, dan akumulasi polusi PM2.5 di atmosfer
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kondisi sebaran titik panas serta
bagaimana kondisi parameter meteorologisnya saat terjadi kasus konsentrasi
ekstrem PM2.5 di Palangka Raya pada September 2019. Data konsentrasi PM2.5
didapatkan dari data reanalisis MERRA-2, data titik panas sepanjang September
2019 didapatkan melalui FIRMS, parameter meteorologi yang digunakan pada
penelitian ini adalah temperatur, kelembaban relatif, kecepatan angin, dan
kestabilan atmosfer yang diwakilkan oleh profil vertikal temperature potensial
virtual, periode dan tanggal sampel digunakan untuk mendapatkan kondisi kondisi
prakonsentrasi ekstrem, konsentrasi ekstrem, dan pascakonsentrasi ekstrem.
Periode konsentrasi ekstrem ditunjukkan dengan nilai peningkatan jumlah hotspot
yang kemudian disertai dengan peningkatan konsentrasi partikulat PM2.5 yang
mencapai titik konsentrasi puncak. Saat konsentrasi PM2.5 memuncak teramati
kenaikan jumlah titik panas berturut-turut selama 4 hari, kondisi stabilitas atmosfer
stabil sehingga partikel polutan PM2.5 sulit terdispersi dan berdampak pada
naiknya konsentrasi PM2.5. Kecepatan angin menyentuh angka paling rendah pada
saat periode konsentrasi ekstrem dibandingkan periode lainnya.