Air dapat masuk ke dalam struktur perkerasan dan mempercepat terjadinya
kerusakan sehingga mengganggu daya ikat antar lapisan dan merusak kondisi
struktural perkerasan. Evaluasi kondisi struktural dapat dilakukan dengan
memprediksi sisa masa layan perkerasan atau remaining service life (RSL) dan
mengetahui kondisi setiap lapis perkerasan. Manajemen asset jalan di Indonesia
telah menerapkan program Indonesian Road Management System (IRMS) V.3
dalam menyusun program penanganan jalan. Namun, 60% dari penentuan
penanganan tersebut didominasi oleh kondisi fungsional.
Pada penelitian ini, kondisi struktural dievaluasi menggunakan metode AASHTO
(1993) dan Deflection Bowl yang dikembangkan oleh Emile Horak. Kondisi
struktural berupa prediksi nilai RSL dilakukan dengan membandingkan nilai
CESAL berdasarkan survei lalu lintas dengan CESAL teoritis berdasarkan analisis
backcalculation dari data lendutan. Sedangkan metode Deflection Bowl dilakukan
dengan menganalisis parameter lengkung lendutan pada setiap lapis perkerasan.
Hasil dari analisis menunjukkan bahwa perkerasan yang terendam memiliki kondisi
yang lebih buruk dibandingkan dengan perkerasan yang tidak terendam. Selain itu,
prediksi nilai RSL berdasarkan metode AASHTO (1993) memiliki hubungan
dengan kondisi lapis perkerasan metode deflection bowl, yaitu semakin tinggi nilai
RSL maka kondisi lapis perkerasan juga semakin baik, begitu sebaliknya.
Jenis penanganan yang didapatkan menunjukkan bahwa mayoritas kondisi
struktural perkerasan memiliki kondisi yang buruk sehingga pemeliharaan berat
sebaiknya sudah harus dilakukan pada 59% dari total panjang jalan yang ditinjau.
Sedangkan dengan metode yang saat ini digunakan dalam manajemen asset jalan di
Indonesia menunjukkan pemeliharaan berat dilakukan pada 25% dari total panjang
jalan yang ditinjau.