Biosurfaktan merupakan senyawa amfipatik yang diproduksi oleh mikroba yang
dapat digunakan dalam berbagai industri. Biosurfaktan memiliki keunggulan
berupa toksisitas yang rendah dan dapat terurai secara hayati sehingga lebih ramah
lingkungan dibandingkan dengan surfaktan sintetis. Namun, produksi biosurfaktan
dalam skala industri terhambat karena produktivitas biosurfaktan rendah sehingga
sulit untuk memenuhi kebutuhan pasar. Pada penelitian sebelumnya, usaha
peningkatan produksi biosurfaktan oleh wildtype (WT) Bacillus sp. berfokus pada
rekayasa metabolisme melalui adaptation laboratory evolution (ALE). Dari proses
tersebut diperoleh mutan stabil Bacillus sp. KG7’b yang menghasilkan biosurfaktan
dengan kemampuan emulsifikasi yang tinggi, namun kemampuan produksinya
masih rendah (0,27 ± 0,05 g/L). Karena itu, dalam penelitian ini dilakukan rekayasa
bioproses dengan memanipulasi konsentrasi substrat untuk meningkatkan produksi
biosurfaktan.
Peningkatan produksi biosurfaktan dilakukan menggunakan pendekatan optimasi
kondisi fermentasi berupa rasio sumber karbon dan nitrogen (C/N) pada medium,
serta optimasi umur inokulum melalui response surface methodology (RSM).
Parameter optimasi dievaluasi berdasarkan respons terhadap kinetika produksi
biosurfaktan berupa: (1) produktivitas biosurfaktan, (2) yield produksi (Yp/x), dan
(3) konsentrasi biosurfaktan yang dihasilkan. Pada penelitian juga dilakukan
analisis struktur dan kestabilan biosurfaktan pada berbagai kondisi lingkungan
suhu, pH, dan salinitas. Hasil analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa nheksana
merupakan sumber karbon alternatif yang dapat digunakan untuk
memproduksi biosurfaktan oleh Bacillus sp. KG7’b. Produktivitas biosurfaktan
optimum mencapai 18 mg/L.jam pada penggunaan medium dengan rasio C/N 5,1
dan umur inokulum 14 jam. Nilai Yp/x biosurfaktan optimum di 24,8 ng.mL/CFU
pada penggunaan rasio C/N 7,6 dengan umur inokulum 18 jam. Konsentrasi
biosurfaktan yang diperoleh optimum pada penggunaan rasio C/N 3,8 dengan umur
inokulum 12 jam yang menghasilkan biosurfaktan sebanyak 0,68 ± 0,02 g/L atau
setara dengan peningkatan produksi 2,5 kali lipat dibandingkan dengan hasil
rekayasa metabolisme pada penelitian sebelumnya. Hasil analisis uji kestabilan
biosurfaktan terhadap variasi lingkungan suhu, pH, dan salinitas pada uji
emulsifikasi (%E24) di minyak bumi berat (ABG3), minyak bumi ringan (CEPU),
dan minyak goreng (BML) menunjukkan bahwa biosurfaktan yang dihasilkan dapat stabil pada rentang suhu 20 - 100 ºC maupun pH 2 - 12 namun tidak stabil pada
penambahan salinitas di atas 2% (w/v NaCl). Analisis struktur biosurfaktan melalui
fourier-transform infrared spectroscopy (FTIR) menunjukkan bahwa biosurfaktan
yang dihasilkan merupakan kelas non-surfactin lipopeptide yang didominasi oleh
gugus hidrofilik dan rentan terhadap interaksi dengan ion Na+. Biosurfaktan yang
dihasilkan juga memiliki perbedaan struktur dengan biosurfaktan yang dihasilkan
oleh WT sebelum proses ALE maupun dengan biosurfaktan yang dihasilkan oleh
KG7’ sebelum perlakuan optimasi.