Asystasia gangetica (L.) T. Anderson merupakan gulma pertanian dari negara
Afrika yang saat ini umum dijumpai di sekitar pemukiman. Tumbuhan ini memiliki
kisaran toleransi habitat yang luas, pertumbuhan yang cepat, kemampuan adaptasi
yang tinggi, serta bereproduksi secara aseksual. Tujuan penelitian ini adalah
mendeskripsikan struktur populasi untuk menentukan prioritas pengelolaan melalui
risk assessment di kawasan urban Kota Bandung yang memiliki potensi gangguan
serta tekanan propagul spesies invasif lebih besar. Penelitian dilakukan pada
Januari hingga Februari 2023. Sebanyak 106 plot berukuran 1m2 digunakan untuk
menghitung jumlah individu tumbuhan pada tahapan siklus dewasa (reproduktif
dan non-reproduktif) dan juvenil, lalu plot berukuran 0,4m2 hingga kedalaman
10cm untuk menghitung biji (seed bank). Koordinat geografis dan kondisi
lingkungan dicatat di setiap plot pengukuran. Risk assessment mengacu pada SA
Risk Management Guide 2008 oleh John Virtue dan Pedoman Analisis Risiko
Tumbuhan Asing Invasif oleh FORIS Indonesia 2016. Kerapatan populasi
dianalisis menggunakan Principal Component Analysis yang menjelaskan variansi
90% pada 3 PC yaitu 49,12% (PC1) dan 28,44% (PC2), lalu analisis K-means
clustering yang membentuk 3 klaster berdasarkan struktur populasi. Eigenvalue
yang tinggi pada Dim-1 maupun Dim-2 mengindikasikan bahwa populasi telah
mapan karena area yang terbuka atau pemukiman yang kurang dikelola.
Sebaliknya, eigenvalue yang rendah mengindikasikan bahwa populasi baru saja
bereproduksi di area yang dikelola (kolonisasi awal). Klaster satu (3 kecamatan)
merupakan kumpulan populasi yang baru terbentuk dengan tahapan siklus juvenil
yang sedikit. Bojongloa Kaler adalah kecamatan yang terpisah jauh pada ordinasi
klaster satu karena populasi ini ditemukan pada substrat ubin berbatu (paving)
sehingga tahapan siklus yang ditemukan tidak lengkap. Klaster dua (14 kecamatan)
dan 3 (13 kecamatan) adalah populasi yang relatif lebih mapan namun baru
terbentuk dengan tahapan siklus juvenil dan reproduktif lebih banyak. Risk
assessment terdiri dari 12 pertanyaan terkait risiko (keinvasifan, dampak, dan
distribusi potensial) serta 10 pertanyaan terkait fisibilitas pengelolaan (biaya
kontrol, distribusi tumbuhan, dan persistensi). Indeks risiko diperoleh sebesar 91,2
(medium) dan indeks fisibilitas pengelolaan sebesar 169,7 (diabaikan), sehingga
prioritas pengelolaan berdasarkan kedua indeks tersebut berupa kelola situs. Meski
demikian, tumbuhan ini berpotensi mengancam keanekaragaman hayati dan
merugikan sektor pertanian karena toleransi habitat hidupnya yang luas serta
kondisi populasinya saat ini, sehingga pengendalian dini perlu dilakukan sebagai
upaya meminimalisir risiko yang lebih besar dan biaya kontrol yang tinggi di masa
mendatang.