digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Anggi Riqqa Khalishah
PUBLIC Irwan Sofiyan

Asystasia gangetica (L.) T. Anderson merupakan gulma pertanian dari negara Afrika yang saat ini umum dijumpai di sekitar pemukiman. Tumbuhan ini memiliki kisaran toleransi habitat yang luas, pertumbuhan yang cepat, kemampuan adaptasi yang tinggi, serta bereproduksi secara aseksual. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan struktur populasi untuk menentukan prioritas pengelolaan melalui risk assessment di kawasan urban Kota Bandung yang memiliki potensi gangguan serta tekanan propagul spesies invasif lebih besar. Penelitian dilakukan pada Januari hingga Februari 2023. Sebanyak 106 plot berukuran 1m2 digunakan untuk menghitung jumlah individu tumbuhan pada tahapan siklus dewasa (reproduktif dan non-reproduktif) dan juvenil, lalu plot berukuran 0,4m2 hingga kedalaman 10cm untuk menghitung biji (seed bank). Koordinat geografis dan kondisi lingkungan dicatat di setiap plot pengukuran. Risk assessment mengacu pada SA Risk Management Guide 2008 oleh John Virtue dan Pedoman Analisis Risiko Tumbuhan Asing Invasif oleh FORIS Indonesia 2016. Kerapatan populasi dianalisis menggunakan Principal Component Analysis yang menjelaskan variansi 90% pada 3 PC yaitu 49,12% (PC1) dan 28,44% (PC2), lalu analisis K-means clustering yang membentuk 3 klaster berdasarkan struktur populasi. Eigenvalue yang tinggi pada Dim-1 maupun Dim-2 mengindikasikan bahwa populasi telah mapan karena area yang terbuka atau pemukiman yang kurang dikelola. Sebaliknya, eigenvalue yang rendah mengindikasikan bahwa populasi baru saja bereproduksi di area yang dikelola (kolonisasi awal). Klaster satu (3 kecamatan) merupakan kumpulan populasi yang baru terbentuk dengan tahapan siklus juvenil yang sedikit. Bojongloa Kaler adalah kecamatan yang terpisah jauh pada ordinasi klaster satu karena populasi ini ditemukan pada substrat ubin berbatu (paving) sehingga tahapan siklus yang ditemukan tidak lengkap. Klaster dua (14 kecamatan) dan 3 (13 kecamatan) adalah populasi yang relatif lebih mapan namun baru terbentuk dengan tahapan siklus juvenil dan reproduktif lebih banyak. Risk assessment terdiri dari 12 pertanyaan terkait risiko (keinvasifan, dampak, dan distribusi potensial) serta 10 pertanyaan terkait fisibilitas pengelolaan (biaya kontrol, distribusi tumbuhan, dan persistensi). Indeks risiko diperoleh sebesar 91,2 (medium) dan indeks fisibilitas pengelolaan sebesar 169,7 (diabaikan), sehingga prioritas pengelolaan berdasarkan kedua indeks tersebut berupa kelola situs. Meski demikian, tumbuhan ini berpotensi mengancam keanekaragaman hayati dan merugikan sektor pertanian karena toleransi habitat hidupnya yang luas serta kondisi populasinya saat ini, sehingga pengendalian dini perlu dilakukan sebagai upaya meminimalisir risiko yang lebih besar dan biaya kontrol yang tinggi di masa mendatang.